BARU SAJA Turkiye mendapat kebahagiaan telah direkomendasikan oleh Presiden AS Joe Biden ke Kongres AS untuk mendapatkan 40 jet F-16 Block 70 berikut paket upgrade 79 F-16 lamanya, kini AS juga menyetujui penjualan 40 jet F-35A Lightning II ke Yunani senilai 8,6 miliar USD.
Persetujuan dan rekomendasi Presiden Biden ke Kongres AS didasari keputusan Ankara yang akhirnya pada tanggal 23 Januari 2024 menyetujui Swedia untuk masuk ke dalam keanggotaan NATO. Sebelumnya, Turkiye terus menolak untuk meratifikasi keanggotaan Swedia di NATO karena berbagai hal. Akan tetapi, justru ini yang dimanfaatkan AS untuk menggantung penjualan 40 jet F-16V seperti yang diinginkan oleh Ankara.
Turkiye menuduh Swedia melindungi anggota Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang diakui sebagai organisasi teroris oleh Turkiye, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Namun, Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdoğan juga menghubungkan penolakan negaranya untuk menyetujui keanggotaan Swedia dengan tertundanya persetujuan AS atas penjualan jet tempur F-16V ke Turkiye.
Sumber Kementerian Pertahanan Nasional Turkiye mengatakan, saat ini pemerintahan Presiden Joe Biden sedang menyiapkan surat rekomendasi yang ditulis Presiden AS kepada Kongres untuk menyetujui penjualan F-16 ke Turkiye.
“Mengenai pengadaan F-16; Surat Permintaan (LOR) Pengadaan 40 F-16 Block-70 dan Modernisasi Viper sebanyak 79 pesawat dalam lingkup Kebutuhan Operasional Mendesak Komando Angkatan Udara kita pertama kali dikirim ke Kantor Kerja Sama Pertahanan AS (ODC- T) pada tanggal 30 September 2021 telah tersampaikan,” bunyi pernyataan dari Parlemen Turkiye.
Tak lama berselang dari AS muncul berita bahwa Presiden Biden telah mengajukan surat resminya ke Kongres AS.
Persetujuan Kongres AS untuk Surat Proposal dan Penerimaan kedua proyek tersebut diharapkan akan segera terealisasi.
“Kami menganggap ini sebagai langkah positif ketika Presiden AS Biden mengirimkan surat rekomendasi kepada Kongres untuk menyetujui penjualan tersebut. Yang perlu dilakukan sebenarnya adalah mengirimkan permintaan mengenai hal ini kepada kongres dan memulai proses resminya melalui Kongres. Sekali lagi kami menyampaikan harapan kami bahwa proses ini akan berakhir secara positif,” tulis SavunmaSanayiST.
Sementara itu di hari yang sama tanggal 23 Januari, Pemerintah Yunani menyatakan bahwa pengajuan untuk pembelian 40 F-35A telah disetujui oleh Kongres AS. Hal ini diperkuat dengan pengumuman di laman Badan Kerja Sama Pertahanan Keamanan (DSCA) Departemen Pertahanan AS pada 26 Januari.
Diumumkan bahwa Departemen Luar Negeri AS menyetujui kemungkinan penjualan tersebut dan menyampaikan pemberitahuan resmi kepada Kongres AS.
“Penjualan yang diusulkan akan memungkinkan Yunani untuk memodernisasi angkatan udaranya dan meningkatkan kemampuannya dalam memberikan pertahanan wilayah udaranya, berkontribusi pada misi NATO untuk menjaga keamanan regional dan membela Sekutu NATO, dan menjaga interoperabilitas dengan pasukan AS dan NATO. F-35, F -4 dan Ini akan mengkompensasi semakin usangnya pesawat Angkatan Udara Hellenic lainnya seperti Mirage 2000. Yunani tidak akan mengalami kesulitan dalam memasukkan produk dan layanan ini ke dalam angkatan bersenjatanya.
Berikut kutipan pengumuman resmi dari laman DSCA: Pemerintah Yunani telah meminta untuk membeli hingga empat puluh (40) pesawat F-35 Joint Strike Fighter Conventional Take Off and Landing (CTOL); dan empat puluh dua (42) mesin Pratt & Whitney F135-PW-100 (40 terpasang, 2 cadangan).
Juga disertakan adalah Simple Key Loader AN/PYQ-10; Perangkat komunikasi aman tertanam KGV-135A; Perangkat Penggerak Kartrid/Perangkat Penggerak Propelan (CAD/PAD); selongsong impuls, sekam, dan suar; Simulator Misi Penuh dan pelatih sistem; sistem peperangan elektronik dan dukungan Lab Pemrograman Ulang; manajemen logistik dan sistem pendukung; sistem deteksi, pelacakan, dan penargetan ancaman.
Kemudian dukungan Logistik Kontraktor (CLS); perangkat lunak rahasia dan pengembangan perangkat lunak, pengiriman dan dukungan integrasi; dukungan transportasi, penyeberangan, dan pengisian bahan bakar; wadah senjata; perlengkapan pendukung dan pendukung pesawat terbang dan amunisi; integrasi dan pengujian dukungan dan peralatan; dukungan program peningkatan komponen mesin pesawat (CIP); komunikasi yang aman, navigasi presisi, serta sistem dan peralatan kriptografi; Peralatan Identifikasi Teman atau Musuh (IFF).
Selanjutnya adalah suku cadang dan perbaikan, bahan habis pakai, dan aksesori, serta dukungan perbaikan dan pengembalian; modifikasi kecil, pemeliharaan, dan dukungan pemeliharaan; pelatihan personel dan peralatan pelatihan; publikasi dan dokumen teknis rahasia dan tidak rahasia; jaminan; dan layanan dukungan, studi, dan survei dari Pemerintah dan teknik, teknis, dan logistik; dan elemen logistik dan dukungan program terkait lainnya. Perkiraan total biaya adalah $8,6 miliar.
Turki dan Yunani terus berseteru
Melihat konstelasi politik dan ketegangan di kawasan yang terjadi antara Turkiye dan Yunani memang kompleks. Di satu sisi kedua negara bertetangga dan masing-masing merupakan anggota NATO. Namun di sisi yang lain, kedua negara mempunyai permasalahan konflik yang berlarut
Perang Turkiye (sebelumnya bernama Turki) dan Yunani pertama kali berkecamuk pada tahun 1897. Perang berlangsung selama 32 hari pada bulan April hingga Mei 1897. Kala itu, Turki masih berada di bawah Kesultanan Utsmaniyah yang dipimpin Sultan Abdul Hamid. Kedua negara memperebutkan Pulau Kreta yang menjadi daerah kekuasaan Utsmaniyah, namun banyak dihuni oleh orang Yunani.
Perang antara Turki dan Yunani kembali pecah pada tahun 1921 hingga 1922, tepatnya setelah Perang Dunia I. Perang disulut oleh Yunani yang berusaha memperluas wilayahnya di luar Thrace timur dan di Anatolia. Menurut catatan sejarah, wilayah-wilayah tersebut diberikan kepada Yunani melalui Perjanjian Sevres, pada 10 Agustus 1920. Hal itu dilakukan karena pemerintah Utsmaniyah dinilai tengah lemah.
Serangan ke Anatolia dilakukan pada Januari 1921 oleh tentara Yunani. Mereka melawan kaum nasionalis Turki yang tidak mengakui adanya perjanjian tersebut.
Usai perang, Yunani memberikan seluruh wilayah yang didapat selama perang ke Turki dan kembali ke perbatasan. Pertukaran populasi antara Turki dan Yunani juga terjadi, berdasarkan Perjanjian Lausanne. Perjanjian ini ditandatangani oleh perwakilan Turki, Inggris, Prancis, Yunani, Rumania, Jepang, Italia, Kerajaan Serbia, Slovenia, dan Kroasia pada 24 Juli 1923 di Lausanne, Swiss.
Turki dan Yunani beberapa kali terlibat perselisihan terkait berbagai masalah. Mulai dari batas laut, luas landas kontinen, wilayah udara, dan Pulau Siprus yang terbagi antara kedua negara sejak 1974.
Kini masalah wilayah laut dan lainnya tersebut terus bereskalasi dan secara langsung atau tidak telah menimbulkan “lomba senjata” antara Turkiye dan Yunani.
Sementara AS memiliki kepentingan untuk tetap berada pada posisi sebagai “Polisi Dunia” dengan memanfaatkan kebutuhan kedua negara untuk meningkatkan kekuatan militernya. AS dalam politik luar negerinya tentu sudah menimbang dan akan lebih condong ke salah satu negara yang lebih menguntungkan.
AS juga tetap menjaga agar negara lainnya tidak lebih dominan dalam hal kekuatan militer dibandingkan negara yang ia dukung. Lebih dari itu, kepentingan terbesar yang tidak dikesampingkan adalah tentu saja kepentingan bahwa roda industri-industri pertahanan dan militer AS harus terus berkembang dan berputar di kancah dunia.
-RNS-