Tahun 2030 semua jet tempur Rafale Prancis akan berstandar F4.2, bagaiamana dengan Indonesia?

Dassault RafaleAAE

AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Berkat pengembangan yang matang, peningkatan teknologi pada jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation terus dilakukan. Kementerian Angkatan Bersenjata Prancis (DGA) dan Dassault Aviation mencanangkan, tahun 2030 semua jet Rafale milik Angkatan Bersenjata Prancis akan beralih status ke standar F4.2.

Secara penampakan dari luar tidak akan terlihat perbedaan antara Rafale versi terdahulu dengan versi baru tersebut. Yang membedakan adalan sistem yang terintegrasi di pesawat sehingga Rafale versi termutakhir akan memiliki teknologi yang terkini dan tercanggih pula. Pabrikan mengatakan, peningkatan kemampuan Rafale akan terus dilakukan hingga ke standar F5 di tahun 2030-an.

Sebelum lebih jauh melihat fitur-fitur yang ada di Rafale F4.2, baiknya diketahui terlebih dahulu bahwa Dassault Aviation sejak tahun 1986 telah melahirkan sedikitnya empat model/standar Rafale yang diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya.

Yang pertama adalah standar F1 di mana pesawat ini dibuat pertama kali untuk Angkatan Laut Prancis. Kemudian standar F2 yang sudah memiliki kemampuan pertempuran udara ke darat dan udara ke udara. Lalu standar F3/F3-R dengan tingkat multiperan yang diperluas di mana pengembangan standar ini dilaksanakan sejak tahun 2014 dan selesai pada Oktober 2018.

Berikutnya adalah standar F4 yang saat ini menjadi standar terbaru dari Dassault. Model ini dikembangkan sejak 2018 dan akan menjadi standar yang akan diterapkan pada seluruh armada Rafale milik Prancis. Peningkatan Rafale lama ke standar Rafale F4.1 baru saja selesai dilaksanakan oleh Dassault Aviation. Dari dua unit pesawat lama yang dikonversi, pesawat pertama, yaitu Rafale B 354, telah dikirimkan kembali ke Skadron Uji Tempur ECE 1/30 Côte d’Argent di Pangkalan AAE di Mont-de-Marsan pada 2 Maret 2023. Merujuk pada referensi di AINOnline (7/3), pesawat ini didesainasi sebagai 30-FU. Standar F4.1 akan digunakan pertama kali untuk melakukan pelatihan.

Bila ditelusuri lebih jauh, Rafale F4 telah mendapatkan peningkatan konektivitas melalui satelit baru dan tautan intra-penerbangan, server komunikasi, dan radio perangkat lunak. Hal ini guna meningkatkan efektivitas Rafale dalam pertempuran net-centric dan membuka jalan bagi Sistem Tempur Udara Masa Depan (FCAS). Dikatakan, peningkatan pada standar F4.1 yang terbang perdana pada April 2021 ini, merupakan sebuah lompatan teknologi pada sistem navigasi, senjata, sistem peperangan elektronik Spectra, pod penunjukan target Talios, hingga radar RBE2 AESA. Radar AESA ini juga telah menjalani peningkatan dalam hal efektivitas mode udara ke daratnya.

Dari sisi fitur yang lainnya, terdapat helmet Scorpion bagi penerbang. Ini adalah generasi helmet berikutnya yang terintegrasi dan peralatan komunikasi satelit baru berdasarkan jaringan Syracuse IV yang telah dipasang.

Untuk persenjataan, Rafale F4 dapat dilengkapi dengan rudal udara ke udara MICA NG serta tiga senjata modular udara ke darat AASM seberat 1.000 kg (2.200 pon). Bom AASM 1000 GS yang  berpemandu GPS/Inersia ini telah ditingkatkan. Sementara bom tradisional Mk 84 dan BLU-109, kit pemandu/propulsi AASM 1000 GS juga dapat diakomodir serta bom BA-84 dan P1000 baru yang sedang dikembangkan oleh perusahaan Prancis Aresia.

Dari sisi pemeliharaan, F4 memiliki Prognosis dan Sistem Bantuan Diagnostik dengan kemampuan pemeliharaan prediktif. Fitur ini mengoptimalkan pemeliharaan lainnya yang dijadwalkan, terutama terkait dengan solusi berdasarkan Big Data dan kecerdasan buatan. Rafale F4.1 juga dilengkapi dengan unit kontrol mesin baru.

Terkait standar Rafale F5 yang telah disebutkan di muka, pesawat ini akan memiliki fitur yang lebih meningkat dalam hal konektivitasnya dan memiliki kemampuan beroperasi dalam tim berawak/tak berawak. Rafale F5 juga akan mampu membawa rudal ramjet hipersonik ASN4G baru, sebagai penangkal nuklir Prancis di udara, menggantikan rudal ASMP-A.

Inventori Rafale Prancis dan misi yang telah dilaksanakan

Saat ini Prancis kurang lebih mengoperasikan 180 unit Rafale. Khusus untuk Angkatan Udara (AAE) mengoperasikan kurang lebih 102 unit Rafale B (kursi tandem) dan Rafale C (kursi tunggal). Kementerian Angkatan Bersenjata Prancis pada 2021 telah menargetkan AAE akan mengoperasikan sebanyak 129 unit Rafale. Namun target tersebut tampaknya meleset sehubungan 24 Rafale yang dimiliki AAE kemudian dijual ke Yunani dan Kroasia. Maka target di tahun 2025 kemungkinan berkisar di angka 117 unit.

Rafale pertama untuk AAE dikirim beberapa tahun setelah pengiriman varian untuk Angkatan Laut Prancis. Pesawat dikirim ke CEAM (Centre d’Expériences Aériennes Militaires) atau Pusat Evaluasi Angkatan Udara Prancis) di Pangkalan Udara Mont-de-Marsan.

Dalam hal pengerahan ke medan tempur, Prancis telah mengerahkan Rafale ke berbagai palagan perang. Pengerahan dimulai tahun 2007 di mana sebanyak enam pesawat menjalani peningkatan kemampuan terlebih dahulu. Proses Upgrade dilakukan pada enam Rafale yang memungkinkan jet tempur itu membawa bom berpemandu laser dalam kesiapan untuk berperang di Afghanistan. Tiga Rafale milik AAE ini dikerahkan ke Dushanbe di Tajikistan, sedangkan tiga lainnya yang berasal dari Angkatan Laut (Rafale Marine) beraksi dari kapal induk Charles de Gaulle.

Misi pertama dilaksanakan pada 12 Maret 2007. Selanjutnya pada 28 Maret adalah hari di mana bom GBU-12 pertama diluncurkan Rafale untuk mendukung pasukan Belanda yang berperang di Afganistan Selatan. Penyerangan ini sekaligus menandai debut tempur Rafale. Selanjutnya antara Januari 2009 hingga Desember 2011, tiga Rafale ditempatkan di Bandara Internasional Kandahar guna melaksanakan misi dukungan terhadap pasukan darat NATO.

HO Rafale dalam Operasi Harmattan. (REUTERS/ECPAD/Sebastien Dupont)

Di tahun 2011, tepatnya di tanggal 19 Maret, Rafale Prancis mulai melakukan misi pengintaian dan penyerangan atas Libya dalam Operasi Harmattan untuk mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973. Target pengebomannya adalah artileri yang mengepung kota pemberontak Benghazi. Rafale berhasil melaksanakan misinya di Libya tanpa dukungan pesawat SEAD. Sebagai gantinya, Rafale menggunakan sistem pertahanan diri SPECTRA.

Pada tanggal 24 Maret 2011, dilaporkan Rafale berhasil menghancurkan pesawat latih/serangan ringan G-2/Galeb milik Angkatan Udara Libya di landasan. Selama penempatannya di Libya tersebut, Rafale juga berhasil menghancurkan beberapa sistem SAM militer Libya menggunakan fitur geolokasi dan senjatanya. Tidak seperti pesawat sekutu lainnya, Rafale tidak memerlukan pesawat peperangan elektroni (EW) khusus untuk pengawalannya.

Rafale melakukan serangan mendadak selama enam jam di atas wilayah udara Libya. Pesawat dipersenjatai dengan empat rudal udara ke udara MICA, empat hingga enam bom Hammer AASM, sebuah pod penargetan Damoclès buatan Thales, dan dua tank eksternal.

Sistem senjata panduan presisi AASM memungkinkan Rafale melakukan misi pengeboman di ketinggian menggunakan bom dengan berat antara 125 hingga 1.000 kg. Menurut cerita, penerbang Rafale lebih suka menggunakan amunisi yang dipandu GPS dengan keandalan dan jangkauan yang lebih besar. Rudal Storm Shadow SCALP dikerahkan hanya pada satu atau dua sorti saja, seperti saat melakukan penyerangan terhadap pangkalan udara Libya di Al-Jufra.

Penugasan Rafale di Libya, telah membuat jet tempur ini melambung namanya. Pengamat memprediksi, penjualan Rafale akan meningkat di masa-masa mendatang dan pada akhirnya terbukti dalam dua tahun terakhir ini.

Kiprah Rafale Prancis di medan-medan pertempuran berikutnya berlanjut di Mali tahun 2013 melalui misi Opération Serval, yakni intervensi militer Prancis untuk mendukung pemerintah Mali melawan Gerakan untuk Kesatuan dan Jihad di Afrika Barat. Misi ini pertama dilakukan pada 13 Januari ketika empat Rafale lepas landas dari pangkalan udara di Prancis untuk menyerang kamp pelatihan, depot, dan fasilitas pemberontak di kota Gao di Mali timur.

Di tahun berikutnya pada September 2014, Rafale Prancis memulai misi pengintaian di Irak untuk Opération Chammal, yakni kontribusi Prancis dalam upaya internasional memerangi militan kelompok ISIS. Enam Rafale ditugaskan untuk mengidentifikasi posisi ISIS guna mendukung serangan udara AS. Keenam pesawat terbang dari Pangkalan Udara Al Dhafra, UEA.

Berikutnya pada 18 September, Rafale bergabung dalam empat operasi serangan Amerika terhadap target di dekat kota Zummar di Irak Utara. Serangan tersebut menghancurkan depot logistik dan menewaskan puluhan mmilitan ISIS.

Kemudian pada April 2018, selama Perang Saudara di Suriah, lima Rafale B Angkatan Udara Prancis berpartisipasi dalam serangan rudal terhadap Suriah. Masing-masing pesaswat membawa dua misil SCALP EG.

Pesanan Rafale saat ini

Merujuk pada data yang dikeluarkan oleh pihak pabrikan di lamannya, per 31 Desember 2022 Dassault Aviation telah mengantongi 164 unit Rafale yang dipesan. Jumlah ini meningkat dari 78 unit dibandingkan 85 unit Rafale yang dipesan pada tahun 2021. CEO Dassault Aviation Eric Trappier pada 9 Maret 2023 dalam jumpa pers dengan media mengatakan, backlog Rafale mencapai angka terbesar dalam sejarah perusahaan.

Ditambahkan, kesuksesan Rafale di pasar ekspor ini masih terus berlanjut. Indonesia telah melakukan pembayaran pertama atas pesanan pasti untuk enam unit Rafale dan pembayaran untuk 36 lainnya telah direncanakan. Selain Indonesia, Yunani memesan enam unit lagi.

Rafale di Lanud Halim
Airspace Review Dua Rafale di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. (RBS/AR)

Tahun lalu, Angkatan Udara dan Antariksa Prancis menerima pengiriman jet pertamanya dalam empat tahun setelah terjadi COVID 19. Sebanyak 39 unit pesanan domestik lainnya diharapkan konkrit tahun ini. Saat ini pekerjaan pengembangan ke standar F4 terus berlanjut di perusahaan dan Dassault juga sedang mempersiapkan standar Rafale F5 yang akan dirilis di tahun 2030-an.

Sementara itu, Trappier menambahkan, tingkat produksi Rafale tetap relatif tenang, yakni sebanyak 14 unit per tahun untuk saat ini. Peningkatan produksi besar diprdisksi akan terjadi mulai 2027 saat pengiriman pertama ke Uni Emirat Arab yang memesan 80 unit Rafale F-4 dimulai.

Harapan bagi kita Indonesia, tentu saja pemerintah segera menuntaskan kontrak untuk pesanan batch ke-2 dan selanjutnya batch ke-3 dari proyeksi pembelian 42 unit Rafale senilai kurang lebih 8,1 miliar dolar AS. Belum jelas secara gamblang standar Rafale mana yang akan diakuisisi oleh Indonesia. Ada kemungkinran F3-R dan F4. Sementara UEA telah menetapkan dari awal pesanannya yakni Rafale F4.

-RNS-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *