AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Berkecamuknya Perang Dunia II (1939-1945) membuat Swedia khawatir akan terseret dalam salah satu perang terbesar dalam sejarah manusia tersebut.
Swedia merasa berkepentingan untuk menjaga netralitas dan kemerdekaan negara mereka dari kemungkinan dirampas atau diserang oleh negara lain.
Sebagai tindakan darurat, Angkatan Udara Swedia (Flygvapnet) pun mulai meningkatkan persenjataan mereka dan melakukan perluasan militer selama periode awal perang 1939–1941.
Pengadaan pesawat dari luar negeri dilakukan oleh pemerintah Swedia, termasuk pengembangan pesawat tempur serang (fighter-attack) di dalam negeri.
Pengembangan pesawat tempur di dalam negeri dirasa perlu karena pada saat itu sangat sedikit negara produsen pesawat yang mau menjual pesawat tempurnya ke negara lain, khususnya kepada negara netral.
Saab, sebagai industri pertahanan yang diandalkan Swedia, segera mencari solusi dengan merancang sebuah pesawat tempur-serang yang kemudian dikenal dengan nama Saab 21 atau biasa juga ditulis J 21.
Saab 21 merupakan pesawat tempur jenis monoplane sayap rendah berkursi tunggal. Pesawat ini memiliki bentuk yang tidak lazim, yaitu menggunakan boom kembar yang berpangkal di kedua sayapnya.
Kedua boom itu sekeligus menjadi penopang bagi ‘bangku’ yang menghubungkan kedua sayap tegak ekornya.
Sementara satu mesin Dailler-Benz DB 605B ditempatkan di bagian belakang bodi pesawat untuk memutar baling-baling pendorong yang berjumlah tiga bilah.
Desain J 21 memungkinkan senjata untuk ditempatkan di hidung sekaligus memberikan visibilitas yang baik kepada pilot.
Untuk diketahui, J 21 diberikan persenjataan berupa satu kanon 20 mm 140 putaran dan dua kanon 12,2 mm 350 putaran. Kedua senjata ini ditempatkan di bagian hidung pesawat.
Kemudian dua kanon 13,2 mm 325 putaran ditempatkan di bagian sayap.
Di bagian sayap, juga dapat dilengkapi juga dengan delapan roket kaliber 5,7 atau 5,9 inci.
Sementara di bagian perut dapat dilengkapi dengan satu bom serba guna seberat 250 kg.
Mengenai penempatan baling-baling di bagian ekor, tepat di belakang kokpit tempat pilot berada, tentu saja menimbulkan risiko di saat pilot harus menyelamatkan diri.
Namun begitu, Saab telah menyiasatinya dengan menggunakan kursi lontar bagi pilot.
Luar biasa, sebab Saab 21 atau J 21 ini merupakan pesawat pertama di dunia yang dilengkapi dengan kursi lontar yang menggunakan tenaga dari ledakan mesiu yang dikembangkan oleh pabrik Bofors.
Sebelumnya pada 1940, Saab bersama dengan Heinkel dari Jerman mengembangkan kursi lontar yang menggunakan tenaga lontar dari udara terkompresi. Kursi lontar ini digunakan pertama kali pada pesawat Heinkel He 280 buatan Jerman.
Pilot uji He 280, Helmut Schenk, menjadi orang pertama yang selamat dari sebuah tabrakan pesawat karena melontarkan diri menggunakan kursi lontar pada 13 Januari 1942.
Sementara kursi lontar bertenaga ledakan mesiu dikembangkan oleh Bofors dan diuji pertama kali pada tahun 1943 menggunakan Saab 21.
Kembali ke Saab 21, prototipe pesawat ini melakukan penerbangan perdana pada 20 Juli 1943.
Namun faktanya, J 21 sendiri tidak pernah ikut bertempur di Perang Dunia II. Sebab, pesawat ini baru masuk layanan Angkatan Udara Swedia pada 1 Desember 1945 di mana Perang Dunia II sudah berakhir di bulan Agustus
Sebanyak 54 unit seri pertama J 21 yaitu J 21A-1 dikirim oleh Saab ke Flygvapnet mulai 1 Desember 1945 hingga 5 Desember 1946.
Setelah itu dilanjutkan dengan pengiriman pesawat seri kedua yakni J21A-2 sebanyak 124 unit dalam dua batch.
Kemudian dilanjutkan dengan pesanan ketiga sebanyak 119 unit dari seri J21A-3.
Total, Saab memproduksi 298 unit J21A (seri satu hingga tiga) hingga tahun 1948 untuk Flygvapnet.
Dalam hal performa, J 21 mampu terbang dengan kecepatan 650 km/jam (400 mph) dan dapat menjangkau jarak sejauh 750 km.
Pesawat dengan panjang 10,45 m, rentang sayap 11,6 m, dan tinggi 3,97 m ini mampu terbang hingga ketinggian 33.500 kaki.
J 21 digunakan oleh Flygvapnet hingga tahun 1954 saja. Sebab sejak saat itu datang pesawat jet tempur baru yang memiliki kecepatan jauh lebih tinggi, yaitu de Havilland Vampire dari Inggris yang menajadi pesawat jet modern pada masanya.
Kalau dilihat, bentuk Vampire ini punya kemiripan dengan J 21, namun pesawat ini telah menggunakan mesin jet.
Niat awal untuk menggunakan J 21 sebagai pesawat pertahanan udara Angkatan Udara Swedia pun, tidak terlaksana. Sebab, dalam dinasnya di Flygvapnet J 21 lebih banyak digunakan untuk peran sebagai pembom ringan.
Desain J 21 yang tidak lazim, akhirnya mendorong Dewan Udara Swedia meminta agar Saab mendesain ulang J 21 dengan menempatkan mesin di hidung. Dari sinilah kemudian lahir pesawat baru yang diberi nama J 23.
-RNS-