AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Cuaca sangat cerah di penghujung musim kemarau di kota Solo tahun 2019. Pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) telah siap di ujung landasan.
Hari itu tanggal 2 November 2019. Lokasi pengujian dilaksanakan di Lanud Adi Soemarmo.
Pilot Ig. Widi Nugroho duduk di kursi kiri kokpit N219. Sementara di sebelah kanan duduk Kopilot Ferrel Rigonald. Keduanya adalah pilot uji dari TNI AU yang mendapat penugasan sebagai pilot uji di PTDI.
Keduanya akan melaksanakan uji kemampuan pesawat N219 dalam melaksanakan lepas landas (take-off) dan pendaratan (landing) sebanyak tujuh kali.
Pilot mengatur pelaksanaan pengujian dengan mendedikasikan run pertama dan run kedua sebagai build-up approach. Ini adalah sebuah metode untuk melaksanakan tes dari tingkat risiko terendah ke tingkat risiko tertinggi, sekaligus ditujukan sebagai latihan untuk tes sesungguhnya pada run ketiga.
Tes pertama dilaksanakan pada konfigurasi flaps take-off dengan power maksimum. Abort take-off direncanakan pada kecepatan 70 knot.
Setelah mendapat izin dari ATC (Air Traffic Controller) pilot mulai melepaskan rem pesawat dan segera memasuki fase rolling take-off. N219 pun berakselerasi hingga mencapai angka kecepatan 70 knot saat kopilot memberikan aba-aba abort take-off sesuai rencana pengujian.
Proses abort take-off dilaksanakan dengan menggerakkan Power Lever ke posisi idle dengan cepat, dilanjutkan dengan mengubah posisi Fuel Lever ke ground idle, diikuti dengan memundurkan Power Lever ke posisi reverse dan melaksanakan pengereman. Power Lever adalah tuas pengatur besarnya daya mesin pesawat. Fungsinya sama dengan pedal gas pada mobil.
Setelah kecepatan pesawat turun hingga 30 knot, proses abort take-off selesai dilaksanakan dan dilanjutkan dengan membawa pesawat taxi menuju ke apron untuk memeriksa roda dan brake system.
Ketentuan menyatakan, kondisi pesawat untuk melaksanakan pengujian berikutnya harus tercapai di mana kondisi brake system secara fiski normal dan temperatur pada disc brake kurang dari 100o Celcius.
Dari hasil pemeriksaan secara visual menunjukkan pada disc brake tidak ada keanehan. Kemudian indikator suhu di kokpit menunjukkan suhu 50o C di roda kiri dan 70o C di roda kanan.
Berdasarkan persyaratan yang terpenuhi tersebut, Duty Inspector menyatakan bahwa pesawat diizinkan untuk melaksanakan uji run kedua.
Tes pada run kedua dilaksanakan dengan konfigurasi sama seperti run pertama. Namun, abort take-off akan dilaksanakan pada kecepatan 80 knot untuk semakin mendekati kondisi tes sesungguhnya.
Setelah dilaksanakan pengujian, hasil inspeksi run kedua sama seperti hasil dari run pertama. Kondisi brake system normal dan suhu 54o C pada roda kiri serta 91o C pada roda kanan. Artinya, uji run ketiga pun dapat dilaksanakan selanjutnya.
Pada uji run ketiga, direncanakan abort take-off akan dilaksanakan setelah pesawat mencapai kecepatan 86 knot berdasarkan kecepata V1. Semua persiapan dilaksanakan dan pesawat sudah siap line-up di Runway 26 Adi Soemarmo, Solo.
Pesawat pun kemudian meluncur di landasan. Dan, pada kecepatan 86 knot sesuai rencana, kopilot menyampaikan aba-aba abort take-off. Pilot selanjutnya melaksanakan prosedur pembatalan lepas landas seperti pada uji run pertama dan run kedua.
Pada saat N219 menjelang berhenti di landasan, Flight Test Engineer (FTE) yang berada di dalam kabin pesawat bagian belakang melihat ada api di disc brake sisi kanan. Kondisi munculnya api ini juga terlihat oleh Mission Director di MOCR yang memiliki akses video secara langsung dari pesawat.
Pada saat informasi dari dua observer itu diterima, pesawat memang masih dalam proses pengereman. Namun tidak berselang kama dapat dihentikan sepenuhnya di landasan.
Pada saat pesawat sudah berhenti, FTE di kabin pesawat kembali mengobservasi kondisi api di disc brake dan dilaporkan bahwa api suidah padam. Namun mempertimbangkan adanya laporan tersebut, maka pilot memutuskan untuk segera membawa pesawat keluar dari runway melalui Fillet 3.
Pesawat kemudian taxi out menuju ke Fillet 3 dan berhenti setealah garis batas aman dari pergerakan pesawat lain di landasan. Setelah itu dilakukan inspeksi ke bagian landing gear oleh tim mekanik untuk memastikan kondisi disc brake, roda, serta landing gear secara keseluruhan.
Pada saat dilaksanakan pengecekan, kru di kokpit pesawat mendengar ada suara letusan yang berasal dari sisi kanan pesawat diikuti posisi pesawat yang sedikit miring ke kanan.
FTE menginformasikan bahwa roda kanan pesawat meletus. Pilot selanjutnya memutuskan untuk mematikan mesin pesawat.
Mengapa ban pecah? Letkol Pnb Ignatius Widi Nugroho dalam bukunya “N219 Karya Anak Bangsa untuk Indonesia” terbitan tahun 2020 menuliskan, faktor penyebab utama meletusnya ban pesawat tersebut karena overheat pada disc brake sehingga membuat roda dan ban pesawat menjadi panas.
Akibatnya, udara di dalam ban memuai dan pada akhirnya ban tidak sanggup menahan volume udara yang mengembang tersebut sampai akhirnya meletus.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana bisa terjadi overheat dan apa faktor penyebabnya? Dalam bukunya tersebut, penulis pun menguraikan sebab-sebabnya.
-Poetra-
Tetap maju terus hingga seluruh komponen kita biat sendiri…..dgn tetap mempertimbangkan skala ekonomi…
Gagal dalam uiji coba itu sesungguhnya baik sehingga dapat diantisipasi untuk sebih bsik dan safe….