AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Selama fase awal Operasi Militer Khusus (SMO) di Ukraina, Rusia dengan sangat efektif menggunakan taktik yang dikembangkannya di Suriah untuk kemajuan pesat.
Rusia menggunakan helikopter tempur sebagai pengawal untuk barisan kendaraan tempur dan konvoi truk logistik yang maju dengan cepat.
Namun, segera setelah dimulainya operasi khusus itu, NATO membanjiri pasukan Ukraina dengan MANPADS yang mumpuni seperti Stinger (AS) dan Starstreak (Inggris).
Rusia pun sejenak menghentikan penggunaan helikopter tempur Rusia sebagai pengawal.
Pembiakan yang subur (proliferasi) rudal panggul atau MANPADS di sepanjang garis kontak, membuat operasi helikopter tempur Rusia tidak dapat dilakukan. Rusia menarik pasukannya yang maju.
Helikopter tempur Rusia seperti Mi-28 dan Ka-52, sejak saat itu mulai melakukan serangan terhadap target dari luar jangkauan MANPADS Ukraina.
Serangan dilakukan dengan menggunakan roket jarak jauh terarah di mana terintegrasi komputer balistik atau peluru kendali seperti LMUR Rusia (Produk 305).
Rudal dengan jarak jangkau 15 kilometer terbang ke sasarannya menggunakan sistem autopilot inersia dan secara berkala memperbaiki posisinya menggunakan navigasi satelit (SATNAV).
Saat mendekati target, rudal yang dilengkapi dengan pencari IIR itu mentransmisikan video langsung ke kokpit platform peluncuran.
Pilot mengamati dan memilih target selama penerbangan rudal.
Target dapat diubah beberapa kali, secara harfiah, hingga berdampak.
Pilot juga memiliki opsi untuk membatalkan penghancuran target dengan memerintahkan rudal menyimpang keluar dari jalur dan menghancurkan dirinya sendiri.
Rudal Spike NLOS buatan Israel yang diluncurkan helikopter dengan jarak 50 km, adalah senjata stand-off serupa yang membutuhkan informasi penargetan langsung.
Penggunaan senjata stand-off seperti itu membutuhkan informasi penargetan real-time yang disediakan paling efektif menggunakan drone.
Menggunakan senjata stand-off hanya mungkin jika koordinat target dapat diperoleh secara real-time.
Untuk ini, platform peluncuran harus menampilkan kemampuan jaringan yang andal yang memungkinkan koordinat target diterima oleh komputer sistem senjata secara waktu nyata dari pengamat darat atau UAV.
Belajar dari hasil analisis itu, Organisasi Riset dan Pengembangan (DRDO) India memandang perlu untuk mengembangkan rudal stand-off dengan jangkauan lebih dari tujuh kilometer.
Angkatan Udara dan Angkatan Darat India juga harus mengerahkan drone dalam jumlah besar untuk pengawasan dan penargetan.
Drone dan helikopter tempur harus terhubung ke jaringan.
Perlu dipahami bahwa ini bukan persyaratan futuristik. Ini adalah persyaratan yang seharusnya ditangani beberapa tahun yang lalu.
“Awak helikopter tempur kami harus berurusan dengan banyak MANPADS canggih jika balonnya naik hari ini,” sebuah pernyataan yang disampaikan otoritas India seperti diberitakan The EurAsian Times.
Dalam perkembangannya saat ini, helikopter tempur ringan (LCH) Prachand yang baru didinaskan di Angkatan Udara India, baru dapat dioptimalkan untuk operasi cuaca cerah.
Kurangnya radar membatasi kemampuannya untuk beroperasi dalam jarak pandang yang buruk akibat hujan, kabut, kabut, atau asap.
Secara signifikan, kemampuan udara ke udaranya juga terbatas pada kondisi visibilitas yang baik.
Sebuah radar, seperti radar Crossbow yang dipasang pada Ka-52, dapat memberikan kesadaran situasional kepada kru dalam segala kondisi cuaca dan memfasilitasi deteksi target dan keterlibatan menggunakan rudal udara-ke-darat yang dipandu melalui tautan data.
Radar juga dapat membantu pengenalan target dan penentuan prioritas.
Misalnya, radar onboard dapat mengidentifikasi jembatan kereta api dari jarak 25 kilometer dalam segala kondisi cuaca yang memungkinkan serangan dari jarak jauh.
Angkatan Darat India telah mengartikulasikan kebutuhan akan radar kendali tembakan (FCR) onboard untuk mengatasi keterbatasan operasional sensor elektro-optik.
Angkatan Darat terbuka untuk memperoleh FCR dari vendor asli atau asing.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa induksi operasional Prachand LCH adalah peristiwa penting yang harus memicu pemikiran operasional yang inovatif di tengah kepemimpinan IA & IAF.
Ini adalah bukti bahwa DRDO dapat memberikan sistem operasional yang setara dengan apa yang tersedia di luar negeri.
Pimpinan militer harus mendorong Kementerian Pertahanan & DRDO untuk menindaklanjuti pengembangan rudal serangan jarak jauh, sensor (termasuk radar), dan kemampuan jaringan untuk Prachand.
IA atau IAF dapat memperoleh senjata stand-off dari OEM asing.
Namun, platform tempur yang baik yang mengandalkan senjata asing untuk menjadi sistem senjata yang kuat tidak masuk akal jika kemandirian adalah tujuannya.
-Kallmoz-
Soure: The EuraSian Times
betul betul belajar dari pengalaman orang lain, India perlahan menjadi kekuatan militer yang wajib tidak diremehkan… Belanja militernya lumayan hampir imbang imbang dengan China saat ini