AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Amerika Serikat (AS) tidak akan menjual F-15 dan F-18 (F/A-18 –Redaksi) tercanggih kepada Indonesia. Indonesia sebaiknya memperkuat industri stategis dalam negeri agar memiliki daya tawar (bargaining power) yang tinggi di masa depan.
Hal itu dikatakan seorang purnawirawan perwira tinggi TNI AU dengan latar belakang sebagai penerbang tempur dalam perbincangan dengan Airspace Review di Jakarta pada Sabtu, 12 Desember 2020.
Disebutkan, AS akan akan mengutamakan mitra sekutunya untuk mengekspor sistem persenjataan terbaik kepada suatu negara.
Adapun pemberitaan beberapa hari terakhir, yang menyebut bahwa AS akan menjual F-15 dan F-18 kepada Indonesia, itu terjadi karena penafsiran kita yang tidak memahami AS.
“Itu karena kita tidak memahami Amerika Serikat,” ujarnya.
Ia menambahkan, apabila yang ditawarkan kepada Indonesia adalah F-15 dan F/A-18 bekas atau tipe lawas, sebaiknya tidak usah dibeli.
“Karena, teknologi yang akan kita dapatkan bukan teknologi terbaik,” paparnya.
AS ingin melemahkan ekonomi Rusia
Menarik untuk dicermati, mengapa AS juga menerapkan undang-undang CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act) untuk menjegal penjualan Su-35 oleh Rusia kepada Indonesia. Apakah Su-35 merupakan pesawat yang canggih sehingga sangat ditakuti oleh AS dan negara-negara sekutunya?
“Bukan itu masalahnya,” timpalnya.
Dijelaskan, AS merupakan negara adidaya dunia yang telah menguasai teknologi kedirgantaraan jauh melebihi teknologi yang dikembangkan oleh Rusia.
Amerika Serikat, lanjutnya, telah berhasil membuat pesawat tempur generasi kelima seperti F-22 dan F-35 jauh lebih dulu daripada Rusia.
Demikian juga dengan teknologi radar pesawat, AS jauh lebih maju daripada teknologi radar Rusia. Pun mesin pesawat yang dikembangkan, AS jauh mengungguli mesin yang dikembangkan oleh Rusia.
“Jadi, sebenarnya tidak ada kekhawatiran terhadap Su-35 dari sisi teknologi. Tujuan AS mencegah penjualan Su-35 oleh Rusia, adalah untuk melemahkan ekonomi Rusia termasuk melemahkan industri dirgantaranya,” papar sang marsekal.
Pemeliharaan pesawat perlu dipertimbangkan
Lalu apakah rencana pembelian pesawat tempur dengan tipe yang banyak akan menimbulkan masalah bagi pengguna nantinya?
“Saya bukan orang pemeliharaan. Akan tetapi, bila pembelian pesawat-pesawat tersebut nantinya menimbulkan beban yang berat bagi pengguna, sebaiknya dipikirkan juga. Prinsipnya, jangan asal membeli ini-itu dan setelah itu meninggalkan beban pemeliharaan nantinya,” urainya.
Baca Juga: F-15QA Milik AU Qatar Jadi Varian Tercanggih Strike Eagle Saat Ini
Kembali ke soal industri strategis dalam negeri, ia mendorong pemerintah agar melakukan penguatan terhadap produk-produk dalam negeri untuk juga bisa diekspor ke negara-negara lain selain digunakan sendiri.
“Dengan begitu, kita juga akan punya posisi tawar yang tinggi nantinya,” pungkasnya.
Roni Sontani
kalo benar F-15 yg disodorin ver. downgrade dari negara sekutu maka rafale pilihan yg paling ideal.
sambil menunggu proposal dari rusia utk pespur gen 5 single engine,TF-X,FCAS,TEMPEST,F-X(JPN)
untuk surplus perdagangan dgn US ada baiknya dialokasikan untuk mengakuisisi heli angkut/serang,pesawat transport/tanker/AEW&C/ASW&ASuW beserta armament nya.
yes…njenengan leres marsekal !
Ya ya ya mending rafale dan su35, kita belanja ke us cukup beli yg tidak benar2 vital untuk pertempuran seperti pesawat angkut militer, pesawat tanker, heli angkut militer’ saya sangat2 paham us sangat melindungi australia dan mendukung kelakuan australia bahkan bekerja sama mengobok obok indonesia terutama papua, aku lebih melihat potensi besar bentrok indonesia vs australia ketimbang bentrok dengan china, aku tak melihat alasan indonesia bisa bentrok dengan china sebab kerjasama di segala bidang yg bener2 terbina untuk saling menguntungkan’ kasus natuna adalah wadah pengalihan isu kemesraan indonesia dan china, musuh terbesar indonesia di kawasan adalah australia, gen penjajah yg dengki dan rakus sudah tertanam dalam jiwa2 keturunan british, keturunan british selalu dan akan selalu punya sifat dengki, rakus dan merasa gen yg paling sempurna yg pastinya sangat2 rasis,,,,ya pilihan paling tepat untuk strategi dan jaminan kwalitas hanya ada pada rafale dan su35.
Indonesia, khususnya menhan Pak Prabowo nampaknya sedang galau terkait alutsitsa pesawat tempur, betapa tidak, selain sudah dijelaskan diatas, kita masih terngiang betapa F16 Indonesia lumpuh akibat diembargo Amerika. Sehingga Indonesia selain mempertimbangkan teknologi yang bakal dipasang di F15 & F18 Indonesia, juga harus mempertimbangkan syarat penjualan yang bersifat politis.
Kejadian ini juga dialami Malaysia, sebagaimana dikatakan oleh Mahathir Mohammad, bahwa F18 Malaysia tidak boleh dipakai untuk perang karena tidak diberi “kode akses” oleh Amerika. Dan jika akan dipakai untuk perang, maka harus seijin Amerika, baru dikasi “kode akses” nya…Nah, bisa jadi kecanggihan F-15 & F18 Indonesia mengalami nasib serupa, mengingat, Australia adalah sekutu kental Amerika, yang selalu curiga dengan Indonesia. Australia berkepentingan melemahkan Indonesia.
Kejadian serupa menimpa Hawk Indonesia buatan BAE System Inggris, tidak boleh dipasang bom atau peluncur roket. India juga terhalang Amerika ketika akan mengimpor Rudal Meteor dari Prancis, karena dalam rudal tsb ada komponen Amerika.
Saya sepakat, bahwa Indonesia harus membangun Industri Pertahanan sendiri khususnya pesawat tempur, drone dan satelit, agar kedepan bisa memiliki kemadirian dalam berbagai hal. Maka dari itu, perlu dipertimbangkan kerjasama dengan Swedia karena dia negara Non Blok sebagaimana Indonesia. Dia punya Grippen E/F yang setara dengan F-16 Viper / Blok 72 dengan harga yang lebih murah, dan kelihatanya transfer teknologi yang lebih menarik. Melanjutkan proyek KFX dengan Korea Selatan, memperluas kerjasama pertahanan dengan Turki yang sekarang cukup maju dalam teknologi drone.