AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) atau Ringgak, Kelipuk, Ilung-ilung, atau Tumpe merupakan jenis tumbuhan air yang mengapung. Tumbuhan ini pertama kali ditemukan di Sungai Amazon, Brasil tahun 1824 oleh Carl Friedrich Phillipp von Martius, ahli botani dari Jerman.
Satu kekhasan eceng gondok adalah kecepatan tumbuhnya yang tinggi, sehingga tumbuhan ini sering dianggap gulma karena dapat merusak lingkungan air.
Danau yang tadinya bersih dengan seketika dapat tertutupi eceng gondok yang menyebar sangat cepat. Apabila dibiarkan, habitat danau pun akan rusak dan terganggu.
Eceng gondok walau mengapung di air, namun akarnya bisa sampai ke tanah. Tinggi tumbuhan ini umumnya mencapai 40 – 80 cm. Tumbuhan berwarna hijau ini tidak punya batang dan daunnya berbentuk oval.
Selain hidup di danau, eceng gondok juga hidup di kolam, tempat penampungan air, tanah basah, rawa, dan sebagainya.
Bila terus dibiarkan, sebuah danau yang ditumbuhi eceng gondok akan mengalami pendangkalan karena eceng gondok yang mati akan turun ke dasar danau dan menimbulkan penumpukan.
Selain itu, air di danau pun akan cepat habis karena terhisap oleh daun-daun tumbuhan ini yang banyak dan kemudian mengalami penguapan.
Dengan adanya eceng gondok, transportasi perairan di danau maupun sungai pun akan terhambat. Meningkatnya eceng gondok, selain menghilangkan estetika danau, juga menjadi habitat baru bagi vektor penyakit pada manusia.
Memang eceng gondok pun punya beberapa kelebihan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Salah satunya karena tumbuhan ini dapat menyerap residu pestisida maupun polutan logam berat seperti kadmiun (Cd), Merkuri (Hg), atau Nikel (Ni).
Untuk perairan-peraian yang dipenuhi logam berat, bolehlah eceng gondok dipelihara atau dibiarkan tumbuh dalam jumlah yang dibatasi.
Waduk Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat merupakan salah satu danau yang tiap tahun sering ditumbuhi eceng gondok, khususnya di musim penghujan.
Eceng gondok tumbuh sangat cepat dan menutupi area-area waduk. Yang dikhawatirkan pihak pengelola, tumbuhan ini juga bisa masuk ke turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Untuk mengatasi permasalahan eceng gondok setiap tahun, pihak pengelola Waduk Jatiluhur pun menggunakan alat/kendaraan khusus yang mampu “memakan” eceng gondok.
Alat tersebut adalah Aquatic Weed Harvester Type WH3000 buatan Qingdao Head Dreadging Heavy industry Co.,ltd dari China yang dipasok oleh PT Sinergi Maharanill Sukses .
WH3000 mampu “memakan” atau mengumpulkan eceng gondok dengan kapasitas penampungan 21-25 m2.
Doni Ardianto dari bagian pemasaran WH3000 kepada Airspace Review mengatakan, pengumpulan untuk satu penampungan bisa dilakukan selama 15-30 menit tergantung kerapatan eceng gondok dan keahlian operator.
“Alat ini idealnya digunakan hingga delapan jam per hari dengan konsumsi 8-10 liter bahan bakar per jam. Tangki bahan bakarnya sendiri mampu menampung 500 liter, ujar Doni.
Saat ini baru satu unit WH3000 yang digunakan Perum Jasa Tirta II untuk melakukan pembersihan eceng gondok di bendungan terbesar di Indonesia kebanggaan warga Jawa Barat ini.
Sebagai informasi tambahan, Waduk Jatiluhur atau Waduk Ir. H. Djuanda ini dibangun tahun 1957 atas prakarsa Presiden RI Ir. Soekarno. Pembangunan waduk dikerjakan oleh kontraktor asal Perancis dengan membendung aliran Sungai Citarum.
Waduk Jatiluhur diresmikan penggunaannya semasa Presiden RI Soeharto pada 1967.
Roni Sontani
Haturnuhun ulasan nya Kang Roni, sukses selalu!
Regards,
Hetty Y