Pertarungan dua jagoan udara, F/A-18A Hornet AU Australia Vs F-5E Tiger II TNI AU, pernah dilaksanakan di kawasan latihan udara Lanud Polonia (sekarang Lanud Soewondo), Medan, Sumatera Utara.
Meski dikemas dalam sandi latihan bilateral Elang Ausindo I (13-17 November 1993), dogfight antara Hornet melawan Tiger cukup merepresentasikan skil dari masing-masing penerbang tempur kedua Angkatan Udara.
Hornet dari Skadron 77 RAAF Base Williamtown betempur dalam bermacam skenario melawan Tiger dari Skadron Udara 14, Lanud Iswahjudi, Madiun. Baik satu lawan satu maupun satu lawan dua. Skema pertempuran tidak imbang, sengaja dilaksanakan guna memberikan pengetahuan lebih kepada para penerbang tempur bagaimana menghadapi musuh dalam jumlah lebih banyak.
Bagi para penerbang Skadron Udara 14, kesempatan tarung udara dengan “musuh” dari negara lain, dimanfaatkan sebagai bentuk implementasi taktik dan strategi yang selama ini diajarkan di skadron.
Sementara bagi para penerbang Skadron 77, menghadapi “Macan” tentu bukanlah perkara mudah. Meski dalam perhitungan di atas kertas mereka yakin bisa memenangkan pertempuran, toh kemenangan dalam pertempuran udara tidak hanya ditentukan oleh canggihnya pesawat yang digunakan. Melainkan juga, ada peran besar man behind the gun dalam pelaksanaannya.
Dalam sesi pertarungan pada 24 tahun silam tersebut, para penerbang F-5 Skadron Udara 14 berhasil menunjukkan kemampuan melawan musuhnya. Hal itu terlihat dari skor pertempuran udara di mana belasan sorti dari 30 sorti pertempuran udara yang dilaksanakan berhasil dimenangi Sang Macan. Hal itu pula yang membuat para penerbang Hornet angkat topi terhadap penerbang Macan.
“The Indonesian fighters have a good capability,” ujar Komandan Skadron 77 Letkol Bill Johnson (Angkasa, Desember 1993).
Selebihnya, Hornet membukukan kemenangan sekaligus menunjukkan bahwa radar pesawat AN/APG-65 buatan pabrik Hughes yang digunakan dalam pesawat itu lebih tinggi kemampuannya dari radar yang digunakan F-5.
Dengan radar tersebut, Hornet memiliki keleluasaan menjejak sasaran di depan, samping, maupun bawah (look-down/shoot-down). Sementara radar pada F-5 hanya efektif digunakan untuk mendukung penembakan sasaran di depan saja.
Salah satu teknik yang kemudian digunakan oleh para penerbang Skadron Udara 14 menyikapi kelemahan itu, adalah dengan tidak melewatkan sekecil apa pun kesempatan untuk bisa menembak pesawat musuh.
“Sebelum pesawat musuh bablas dan pesawat sudah masuk pada jarak tembak, maka harus ditembak dengan segera,” ujar Letkol Pnb Eris Herryanto, Komandan Skadron Udara 14 kala itu.
Elang Ausindo I belum menggunakan perangkat monitor Air Combat Maneuvering Instrumentation (ACMI) untuk evaluasi latihan karena peralatan itu belum dimiliki TNI AU. Bahkan, Singapura pun saat itu baru mau memesannya yang kemudian membangun faslitas tersebut di Pekanbaru, Riau. Dengan tidak adanya ACMI, maka perkenaan terhadap sasaran pun didasarkan pada laporan penerbang seusai latihan.
Eris menambahkan, materi dalam Latma Elang Ausindo I sebenarnya tak asing bari para penerbang tempur Skadron Udara 14 karena biasa dilatihkan di skadron. Bedanya, kali itu mereka berhadapan langsung dengan mitra latihan dari negara lain, AU Australia dalam hal ini.
Bagaimana pun, latihan Dissimilar Air Combat Tactic (DACT) yang menyertakan dua pesawat berbeda, kata Direktur Operasi dan Latihan TNI AU (Diropslatau) saat itu Marsma TNI Richard Haryono, memberikan banyak manfaat bagi TNI AU, khususnya bagi para penerbang tempur.
Demikian juga dikatakan Direktur Latihan Elang Ausindo I Kolonel Pnb Suminar S. Sihotang yang mengibaratkan dogfight Tiger dengan Hornet ibarat pertarungan David melawan Goliath.
Dikatakan Sihotang, TNI AU banyak belajar bagaimana cara mengalahkan musuh yang lebih unggul dari sisi teknologi. “Dengan teknik dan taktik yang tepat, David mampu mengalahkan si raksasa Goliath,” ujarnya. (RONI SONTANI | ANGKASAREVIEW.COM).