AIRSPACE REVIEW (AngkasaReview.com) – Sebelum Amerika Serikat (AS) memproklamirkan kemerdekaan pada 4 Juli 1776, seluruh wilayah AS berada di bawah kekuasaan Inggris. Para penguasa Inggris menamai wilayah jajahannya ini, New England.
Sebagai Raja Lautan, kapal-kapal Inggris merupakan alat transportasi utama untuk mendatangkan budak ke AS. Tenaga budak yang saat itu didatangkan oleh Inggris dari Afrika, kemudian dijual kepada para pengguna di Amerika untuk memenuhi tenaga kerja di pertanian kapas.
Sebagai budak mereka tidak dibayar dan diperintahkan kerja paksa –suatu sistem untuk memenuhi tenaga kerja secara tidak manusiawi mengingat tenaga kerja dari orang kulit putih sangat terbatas.
Sistem perbudakan di AS pertama kali diterapkan di Virginia (1619) dan diikuti oleh wilayah Amerika lainnya seperti Carolina Selatan, Massachusets, dan lainnya.
Ketika pecah Revolusi Amerika (1776), yakni perlawanan para imigran AS melawan kolonial Inggris yang kemudian dimenangkan para imigran dan melahirkan kemerdekaan AS (4 Juli 1776), perbudakan di Amerika makin meraja lela.
Presiden pertama AS saat itu, George Washington, dalam Perang Revolusi melawan Kolonial Inggris bertempur memihak rakyat bagian selatan (Virginia). Sehingga ketika memerintah, sistem perbudakan makin tumbuh subur.
Sebanyak 275.000 budak didatangkan ke Amerika dari Afrika, hingga dalam satu wilayah (state) jumlah warga kulit hitam mencapai 40% dibandingkan warga kulit putih.
Meskipun di Benua Amerika, Inggris kalah dalam Perang Revolusi, armada laut Inggris yang kuat masih menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan transportasi di Laut Atlantik.
Pola transportasi yang dikenal sebagai pelayaran segi tiga itu menggunakan rute Amerika, Afrika, dan Inggris. Dari Afrika setelah kapal-kapal Inggris menyetorkan tenaga budak ke Amerika, kapal lalu berlayar kembali ke Inggris sambil membawa barang-barang kebutuhan pokok dan hasil industri AS lainnya, khususnya yang dibuat dari bahan kapas.
Jadi dari sisi bisnis, kapal-kapal transpor Inggris sangat beruntung karena kapalnya bisa digunakan mengangkut budak untuk dijual ke Amerika. Sedangkan barang-barang dagangan dari kapas yang juga dikerjakan oleh para budak bisa dibawa ke Inggris untuk dijual.
Masalah pro dan kontra perbudakan akhirnya memicu tragedi paling berdarah yang terjadi dalam sejarah militer AS. Yakni pecahnya perang saudara (civil war) pada 1861-1865.
Peperangan yang melibatkan warga AS bagian Selatan (Konfederasi) dan Utara (Union) itu telah mengakibatkan lebih dari 750.000 prajurit dari kedua belah pihak gugur. Jumlah ini belum termasuk penduduk sipil yang turut jadi korban.
A Winardi
editor: ron raider