ANGKASAREVIEW.COM – China yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi secara pesat mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan perkuatan militernya. Akibatnya, Amerika Serikat (AS) yang selama ini sangat superior secara militer maupun ekonomi otomatis merasa terganggu.
Secara ekonomi, banyak barang produksi AS yang diekspor ke China yang diam-diam dicontek teknologinya sehingga bisa diproduksi sendiri di dalam negeri oleh China lalu dijual ke negara lain dengan harga yang lebih murah.
AS sebenarnya mengetahui apa yang dilakukan China dalam hal contek-menyontek teknologi dan menyebutnya sebagai pencurian kekayaan intelektual. AS mengklaim, kerugian AS secara ekonomi akibat pencurian kekayaan intelektual oleh China per tahunnya mencapai 600 miliar dolar AS.
Ketika Presiden Donald Trump mulai menjabat, sebagai pebisnis ulung Trump paham apa yang dilakukan China. Oleh karena itu, Trump merasa harus berbuat sesuatu dan salah satu caranya adalah dengan cara militer.
Namun ternyata, tekanan secara militer yang dilakukan AS terhadap China juga tidak mempan. Dapat dipahami karena kekuatan militer China pun sudah begitu dominan, khususnya di kawasan Laut China Selatan. Apalagi Rusia terang-terangan membantu China sehingga kombinasi kekuatan militer Rusia-China membuat AS tak bisa berbuat banyak.
China bahkan dengan berani membantu perekonomian Turki yang saat ini sedang bermasalah dengan AS. China juga sudah bersiap untuk memasuki ajang penjualan senjata ke Arab Saudi yang tengah menghadapi ancaman embargo AS terkait hilangnya wartawan Washington Post, Jamal Khashoggi, di Konsulat Jenderal Arab Saudi, Turki .
Baca: Disiapkan untuk Ekspor, China Mulai Produksi Jet Latih Tempur Multifungsi FTC-2000G
Berhubung memberi pelajaran atau menggertak China secara militer tidak mempan, AS pun lalu melakukan kebijakan lain dengan cara mengobarkan perang dagang. Salah satunya adalah dengan menaikkan biaya impor bagi barang-barang China yang masuk ke AS sebanyak 10% sejak 24 September 2018.
Tidak tinggal diam, China langsung membalas dengan menaikkan biaya impor produk barang dari AS. Namun kebijakan itu jelas membuat harga-harga barang di China naik sehingga membuat daya beli jadi menurun. Lebih sulit lagi, jika perang dagang kedua negara adidaya dengan cara menaikkan barang-barang impor ini diikuti oleh negara-negara lainnya. Imbasnya lebih bersifat global lagi.
Ronald Temple, Kepala Lazard Asset Management AS, menyatakan perang dagang AS-China bisa mengakibatkan resesi ekonomi dunia khususnya di AS sebelum tahun 2020 (CNN.com, 18/10/2018).
Pasalnya, AS yang sengaja mengobarkan perang dagang dengan China saat ini juga sebenarnya sedang mengalami resesi ekonomi yang disebabkan oleh kekuatan militernya yang melemah akibat misi tempur di Irak, Afghanistan, dan Suriah.
Anggaran pendapatan belanja negara AS banyak yang tersedot untuk biaya perang dan perang dagang dengan China bisa menjadi bumerang. AS justru diprediksi akan mengalami krisis ekonomi karena China bisa mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok dari negara-negara lain. Salah satunya adalah Indonesia.
A Winardi