ANGKASAREVIEW.COM – Kita belajar dari banyak airshow yang rutin diselenggarakan di Asia Tenggara seperti LIMA dan Singapore Airshow. Tetapi dua airshow yang sering saya kunjungi ini rata-rata orang-orangnya setelah atau sebelum pelaksanaan (airshow) mereka ke Indonesia. Kenapa? Karena the real market-nya itu di Indonesia.
Demikian diungkapkan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) periode 2002-2005 yang juga seorang pakar dan pengamat penerbangan Marsekal (Purn) Chappy Hakim kepada Angkasa Review sesaat sebelum dimulainya acara Rotary Wing Indonesia Converence 2018 yang digelar di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Sobat AR, sektor penerbangan di dunia terus berkembang dengan pesat. Hal ini lantaran sistem transportasi udara global yang terus melaju dengan cepat pula. Secara parsial, sistem transportasi udara global yang mengalami perkembangan paling cepat terdapat di kawasan Pasifik dan Indonesia merupakan sub sistem kawasan itu.
“Kalau kita lihat penerbangan di Indonesia, kita bisa ngatur atau enggak bisa ngatur, kita mampu atau tidak mampu itu enggak ada permasalahan. Kenapa? Karena national aviation di Indonesia itu adalah sub sistem dari global air transportation system,” ujar Chappy.
Sekarang, lanjutnya, kemajuan global aviation sangat cepat dan itu menuntut Indonesia untuk juga menyamakan iramanya supaya bisa cepat maju juga.
Langkah menyamakan interval nada dengan kemajuan penerbangan global harus dilakukan agar penerbangan nasional bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara lain.
“Harus diingat, bahwa sekarang perkembangan global aviation itu sentralnya ada di kawasan Pasifik. Kalau kita bicara kawasan Pasifik, maka airspace Indonesia itu adalah salah satu yang tersibuk di kawasan Pasifik,” tegasnya.
Menurut pandangannya, salah satu perkembangan aviasi yang pesat dalam bisnis global adalah rotary wing atau helikopter. Penggunaan rotary wing juga tersebar perkembangannya di banyak aspek, yakni air taxi, air charter, industri-industri lain yang kemudian menuntut ketersediaan transportasi yang cepat dan efisien; serta bisnis dan lifestyle.
Ia menjelaskan, saat ini banyak hal yang perlu disempurnakan terkait dengan perkembangan penerbangan rotary wing di Indonesia.
Disebutkannya, Sobat AR, misalnya saja soal pendidikan penerbang heli, regulasi tentang penerbangan heli, penggunaan helikopter di tempat terpencil dan sulit dijamah dan keperluan untuk memasok kebutuhan logistik yang cepat. Semua itu menjadi tantangan-tantangan tersendiri bagi stakeholder untuk dapat semakin menggenjot perkembangan penerbangan heli.
Baca Juga:
Rotary Wing Indonesia Conference 2018, Gebrakan Memaksimalkan Utilitas Chopper di Indonesia
MoU Diperpanjang, Garuda Manjakan Konsumennya dengan HELICITY ke Berbagai Destinasi
“Saya memelopori ini (Rotary Wing Indonesia Converence 2018), mengangkat wacana ini, supaya kita (Indonesia) enggak ketinggalan. Kalau kita ketinggalan sebetulnya tetap akan berlangsung juga, global air transportation itu akan berkembang juga, tapi yang mengendalikan nanti orang asing bukan kita, karena mereka enggak bisa menunggu,” tegas Chappy.
Jadi supaya enggak ketinggalan, lanjutnya, kita harus jalan duluan kalau perlu. Apalagi Indonesia sudah mengidentifikasi beberapa hal yang perlu kita sempurnakan. Misalnya, Jakarta kini telah memiliki tuntutan air taxi yang cukup banyak. Orang yang menggunakan juga sudah mulai terlihat jumlahnya.
Sobat AR, namun ia menilai bahwa Indonesia belum mengatur permintaan pasar tersebut dengan baik.
“Kita belum kelola dengan baik, kita belum ada penentuan rute dengan bagus, penataan-penataan infrastruktur dan kesiapan-kesiapan SDM (juga perlu disempurnakan). Karena itu akan memerlukan certain qualification dari air traffic control di low level, dan itu tidak mudah. Banyak gedung-gedung tinggi dan sebagainya,” jelasnya.
Mengenai SDM, perlu diketahui berapa banyak flying school yang menghasilkan penerbang-penerbang helikopter. Kemudian, kualifikasi SDM seperti pilot dan teknisi juga harus diketahui sampai di mana bekal kemampuan yang mereka terima dari sekolah.
“STPI Curug sekarang sudah memulai ada training dengan helikopter, itu juga salah satu yang memberikan image positif bahwa kita juga harus jangan sampai ketinggalan. Kalau bicara yang lebih teknis, Indonesia butuh instruktur dari luar. Kenapa kita enggak mulai dari kita sendiri (untuk mencetak instruktur berkompetensi khusus),” ungkap Chappy.
Pada kesempatan yang sama, kepada Angkasa Review Ketua Umum APHI, Capt. Imanuddin Yunus menuturkan, sebanyak 60 persen penggunaan helikopter di Indonesia yang ada saat ini melayani sektor mining dan bisnis oil & gas.
Menambahkan informasi dari Capt. Yunus, Managing Director PT Airfas Indonesia Arif Wibowo memaparkan kepada redaksi, sektor ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Sebagai operator rotary wing di Indonesia yang beroperasi di lokasi-lokasi yang sangat sulit, kebanyakan klien itu membutuhkan safety yang tinggi dan efektivitas pekerjaan yang lebih baik. Oleh karena itu pilot heli di Airfast harus memiliki kompetensi yang sangat khusus seperti high altitude, long line dan vertical reference.
Kembali ke percakapan dengan Chappy Hakim, ia menekankan bahwa Indonesia perlu untuk mengantisipasi agar pengembangan penerbangan heli tidak tertinggal.
“Kalau kita tidak mengantisipasi dari sekarang, sambungnya, nanti yang akan datang orang lain dari luar (negeri) yang mempelopori. Itu yang menjadi ide bahwa kita harus menyongsong kemajuan teknologi dan pesatnya kemajuan bisnis pembangunan penerbangan, terutama di rotary wing. Ini supaya kita tidak left behind, jadi prinsipnya itu.
Tentu untuk membangun pengembangan penerbangan heli yang maksimal di Indonesia memerlukan unsur-unsur pendukung. Untuk itu perlu diketahui apakah Indonesia sudah punya regulasi yang berhubungan dengan penerbangan helikopter, termasuk untuk penerbangan non-visual. Apakah unsur-unsur pendukung lainnya juga telah terpenuhi?
“Karena itu tidak hanya regulasinya, tetapi ini juga berhubungan dengan infrastruktur, ground support, dan fasilitas-fasilitas navigasi lain yang memungkinkan bahwa kita memberikan izin terbang yang non-visual, instrument approve misalnya,” jabarnya.
Coba lihat, lanjutnya, sekarang orang yang sudah punya helikopter banyak. Kalau kita lihat sekarang penggunaan helikopter di perusahaan-perusahaan besar sudah mulai banyak. Orang sudah mulai bangun helipad di gedung-gedung tinggi.
“Jadi kayaknya enggak ada keperluan, tapi tuntutan tinggi. Tetapi ini tidak mendapatkan jawaban. Ini kan demand sebetulnya. Ini belum mendapatkan jawaban yang positif dari helikopternya, SDM, infrastrukturnya,” pungkasnya.
(ERY)