AIRSPACE REVIEW – Pemerintahan baru Presiden AS Donald Trump memangkas birokrasi dalam hal otorisasi untuk melakukan serangan udara dan operasi khusus dalam upaya memerangi terorisme.
Tujuannya adalah untuk memperluas jangkauan target dan memberi fleksibilitas lebih banyak kepada komandan militer lokal dalam melaksanakan misi.
Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth membenarkan hal itu, yang diangkat dalam pemberitaan di CBS News.
Hegseth dalam pertemuan pertamanya dengan para pemimpin militer senior AS dari Komando Afrika AS di Jerman, bahkan telah menandatangani arahan yang melonggarkan pembatasan politik dan pengawasan eksekutif bagi serangan udara dan pengerahan pasukan komando Amerika.
Sebelum ini, misi tempur di luar negeri harus disetujui terlebih dahulu oleh Pentagon atau langsung oleh Gedung Putih.
“Pemerintahan Trump berharap prosedur baru ini akan memungkinkannya memerangi organisasi teroris dengan lebih cepat,” Hegseth.
Meski demikian, banyak yang menilai proses otorisasi yang lebih cepat juga dapat meningkatkan risiko pengambilan keputusan yang salah.
Selama ini, sebelum melancarkan serangan, komandan militer harus memastikan serangan tersebut memenuhi serangkaian kriteria ketat dan memperoleh persetujuan dari tujuh pembuat keputusan, termasuk Presiden AS.
Individu yang menjadi target serangan harus dikonfirmasi terlebih dahulu sebagai anggota organisasi teroris yang disetujui menggunakan dua bentuk intelijen independen.
Korban sipil harus diproyeksikan seminimal mungkin. Dan tidak boleh ada informasi yang bertentangan yang membingungkan keputusan tersebut.
Kelompok bersenjata Islam Al-Shabaab di Somalia dan Houthi di Yaman dibahas sebagai target potensial, menurut pejabat AS yang mengetahui pertemuan di Jerman tersebut.
Tidak jelas apakah komando tempur AS lainnya di seluruh dunia juga telah menerima arahan yang sama.
Pada bulan Februari, AS melakukan lebih banyak serangan udara di Suriah. Tidak diketahui apakah tindakan tersebut telah dilakukan berdasarkan pedoman baru.
Fokusnya adalah pada kelompok Hurras al-Din, yang dekat dengan Al-Qaeda. Komando Pusat AS bahkan merilis video serangan di mana pemimpin kelompok tersebut, Muhammed Yusuf Ziya Talay, terbunuh.
Senjata presisi yang ditembakkan oleh pesawat tak berawak menghantam truknya saat ia sedang mengemudi. Karena tidak ada ledakan yang terlihat, diduga rudal presisi tersebut merupakan versi baru dari Hellfire.
AGM-114 R9X Hellfire tidak memiliki alat peledak. Sebaliknya, enam bilah menjulur keluar dari sisi senjata sebelum terjadi benturan.
Tujuannya adalah untuk menghindari korban sipil. Varian yang dikenal sebagai “Rudal Ninja” ini telah digunakan setidaknya sejak tahun 2017. Namun hanya sedikit rincian yang diketahui publik. (RNS)