AIRSPACE REVIEW – Keputusan Presiden AS Joe Biden pada 14 November 2024 untuk mengizinkan Ukraina menyerang target di wilayah Rusia menggunakan rudal jarak jauh yang dipasok AS, menandai titik balik yang signifikan dalam konflik antara kedua negara pecahan Uni Soviet tersebut.
Berselang lima hari atas izin Paman Sam, pada 19 November 2024, untuk pertama kalinya pasukan Ukraina menembakkan rudal ATACMS ke gudang amunisi di Karachev, Rusia sekitar 70 km dari perbatasan Ukraina dan 110 km barat daya Kursk.
Sebagai tanggapan, Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani doktrin nuklir yang direvisi, yang memperluas ketentuan penggunaannya.
Dekrit tersebut menyatakan bahwa setiap serangan konvensional yang dilakukan dengan dukungan kekuatan nuklir dapat dianggap sebagai serangan gabungan, yang berpotensi membenarkan respons nuklir.
Perubahan kebijakan ini menggarisbawahi meningkatnya ketegangan antara Washington dan Moskow, tulis Army Recognition (19/11).
Seperti diketahui, Rusia saat ini memiliki persenjataan nuklir terbesar kedua di dunia, yaitu sekitar 4.380 hulu ledak aktif.
Dari jumlah tersebut, 1.550 ditempatkan pada sistem pengiriman strategis seperti rudal balistik antarbenua (ICBM), rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam (SLBM), dan diluncurkan oleh pembom strategis dari udara (ALBM).
Rusia juga mendapat tambahan 1.000 hingga 2.000 hulu ledak nuklir taktis, yang tidak tercakup dalam perjanjian New START.
Salah satu persenjataan nuklir taktis Rusia adalah rudal balistik jarak pendek seperti Iskander-M, sistem bergerak yang mampu memberikan serangan presisi pada jarak hingga 500 km, cukup untuk menjangkau beberapa wilayah Ukraina. (RBS)