TNI Angkatan Udara menghadapi tantangan yang semakin kompleks

F-16BM TNI AUSkadron Udara 3

AIRSPACE REVIEW – Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) pada hari ini, 9 April 2024, tepat berusia 78 tahun. Mengingat hari ini merupakan hari libur bersama Idul Fitri 1445 H, perayaan HUT ke-78 TNI AU akan dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 22 April mendatang.

Menginjak usianya yang ke-78, TNI AU dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks dan tidak mudah. Rencana penambahan alat utama sistem persenjataan (alutsista) baru oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI seperti pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter, drone, radar, dan lainnya, yang mulai direalisasikan, membutuhkan kecakapan dalam penguasaan untuk mengoperasikan dan juga memeliharanya.

Kemhan, misalnya, telah membelikan dua unit pesawat angkut A400M Atlas, 42 unit jet tempur Rafale, yang kontraknya telah berjalan efektif di mana pesawat direncanakan akan mulai berdatangan pada tahun 2026 mendatang.

Sementara itu, pembelian lima unit pesawat angkut C-130J-30 Super Hercules oleh Kemhan RI, sejak tahun lalu hingga saat ini telah datang empat unit dan tinggal menunggu satu unit lagi yang tidak lama lagi akan dikirimkan oleh Lockheed Martin dari Amerika Serikat.

Pengadaan lainnya, sembilan pesawat angkut ringan NC212i dari PT Dirgantara Indonesia, delapan helikopter H225M Caracal dari Airbus Helicopters via PTDI, 13 radar Ground Control Interception (GCI) GM-403 dari Thales (perencanaan penuh 25 unit), pengadaan 12 unit CH-4 UCAV dari China, pengadaan enam unit ANKA UCAV dari Turkiye, penambahan enam unit jet T-50i Golden Eagle dari Korea Selatan, penambahan pesawat latih KT-1B Woongbi dari Korea Selatan, pengadaan dua unit pesawat tanker MRTT, pengadaan pesawat AEW, pengadaan pesawat helikopter latih, pengadaan dua baterai rudal pertahanan udara jarak sedang, dan lainnya juga telah dan sedang berjalan.

Data dari Kemhan RI di antaranya juga menyebut mengenai refurbishment 16 jet tempur Su-27/30, 8 Hawk 100/200, 33 F-16, dan modernisasi 9 C-130H/HS Hercules.

Sementara rencana pengadaan 24 unit jet tempur F-15EX saat ini masih terus diupayakan oleh Kemhan RI. Pemerintah AS sendiri melalui Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanannya telah menyetujui penjualan 36 F-15EX (F-15ID) berikut kelengkapannya kepada Indonesia dan telah menyampaikan notifikasinya kepada Kongres AS. Kontrak Pernyataan Minat untuk membeli jet tempur ini juga telah ditandatangani oleh Kemhan RI dengan pihak Boeing dari AS.

Di dalam negeri, peningkatan kapabilitas kemampuan F-16A/B melalui program Falcon STAR – eMLU menjadi F-16AM/BM telah berjalan sejak tahun 2018 dan menghasilkan delapan dari 10 unit pesawat yang menjalani program ini. Apresiasi patut diberikan kepada para teknisi TNI AU yang terlibat dalam program ini, yang menunjukkan peningkatan kemampuan sumber daya manusia pemelihara pesawat, khususnya pesawat tempur F-16 telah meningkat.

Kemampuan para teknisi pesawat-pesawat lainnya pun, termasuk Sukhoi, Hawk, pesawat angkut, dan helikopter juga patut diacungi jempol.

Di lain sisi, rencana pengadaan jet tempur 11 Su-35 dari Rusia tampaknya masih terhenti, walaupun pihak Rusia menyatakan bahwa kontrak pengadaan jet tempur ini belum berakhir. Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) sebelumnya, yaitu Marsekal TNI Fadjar Prasetyo pada 22 Desember 2021 menyatakan bahwa dengan berat hati pengadaan 11 Su-35 harus ditinggalkan. Sebelumnya pada Februari 2018 Kemhan RI menandatangani pembelian 11 Su-35 dengan Rusia senilai 1,14 miliar USD.

Perlu digarisbawahi bahwa pengadaan alutsista yang prosesnya memakan waktu cukup lama, sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor geopolitik dan dinamika global yang terjadi dan terus berkembang. Amerika Serikat telah mengancam negara-negara yang membeli peralatan militer dari Rusia, Iran, dan Korea Utara melalui Undang-undang Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA). Ini pula yang, menurut sejumlah sumber, menjadi salah satu penghambat bagi Jakarta untuk meneruskan akuisisi Su-35 dari Rusia.

Terlepas dari hal itu, pengadaan beragam alusista yang akan melengkapi TNI AU untuk meningkaktan kapabilitas dan kekuatan tempurnya, TNI AU masih menghadapi tantangan besar dalam hal pembangunan sumber daya manusianya tadi.

Seperti diketahui, banyaknya alutsista yang akan masuk harus diimbangi dengan penyediaan sumber daya manusia pengawak atau pengoperasinya secara proporsional. Penyediaan penerbang, termasuk hal yang krusial karena untuk mendidiknya membutuhkan waktu yang lama dan proses penguasaan penerbang terhadap pesawat pun butuh jam terbang yang memadai. Butuh waktu paling tidak lima hingga sepuluh atau lima belas tahun bagi seorang penerbang untuk menguasai betul pesawatnya. Ini pun harus dibarengi dengan pencapaian jam terbang yang maksimal.

Sementara di lain sisi, penerbang pun tidak akan selamanya terbang di skadron karena akan mendapatkan penugasan lain ke luar skadron operasional setelah mencapai pangkat letnan kolonel atau setingkat komandan skadron. Dengan demikian proses regenerasi penerbang tidak boleh terlambat dan tidak boleh defisit dibandingkan dengan penambahan pesawat baru yang tipenya juga beragam.

Di kawasan regional, TNI AU menghadapi tantangan kestabilan kawasan di mana kerja sama dengan angkatan udara negara-negara tetangga harus terus dibina dan ditingkatkan. Ancaman konflik wilayah atau perbatasan, khususnya wilayah laut, cukup besar terjadi dengan adanya klaim China yang menyatakan bahwa Laut China Selatan sepenuhnya adalah milik Tiongkok.

Peningkatan kekuatan militer oleh negara-negara tetangga, merupakan suatu keniscayaan di mana masing-masing negara tersebut juga merasa perlu memodernisasi alutsistanya. Singapura misalnya, sedang melakukan transisi menuju kemampuan multidomain dan sinergi antara angkatan laut, udara, darat, ruang angkasa, dan angkatan sibernya. Dalam hal matra udara, Singapura menambah pembelian jet tempur F-35B sebanyak 12 unit dengan delapan unit F-35A.

Singapura fokus melakukan investasi berkelanjutan dalam hal teknologi canggih dan sistem pelatihan untuk mempertahankan keunggulan pertahanan regional hingga tahun 2040 dan seterusnya. Negeri Singa memperkuat kemampuan deterensi serangan jarak jauh dan kapabilitas perang bawah air tak berawak.

Sama dengan Singapura, Australia telah lebih dulu melengkapi angkatan udaranya dengan jet tempur siluman F-35 dengan mengakuisisi 72 unit pesawat ini. Australia juga meningkatkan kemampuan serangan jarak jauhnya dengan mengakuisisi beragam rudal dan radar yang mumpuni.

Melalui inisiasi AUKUS bersama AS dan Inggris, Australia melakukan investasi kekuatan tempur laut yang signifikan dengan rencana pengadaan kapal selam nuklir kelas Virginia pada tahun 2032. Akuisisi rudal jelajah Tomahawk dan penambahan kapal LHD semakin menegaskan Australia untuk memperluas kemampuan proyeksi jarak jauhnya.

Negara-negara lain, bila diuraikan di sini, juga tidak luput dari rencana pengadaan jet tempur baru untuk mengganti armada jet tempur lama, seperti yang dilakukan oleh Malaysia dan Thailand atau Filipina dan seterusnya.

Menjadikan angkatan udara yang kuat dan disegani di kawasan, jelas membutuhkan perencanaan yang matang, anggaran yang memadai, sumber daya manusia yang mumpuni, dan penguasaan terhadap teknologi. Angkatan udara harus dibangun menjadi kekuatan yang profesional, modern, dan tangguh.

Satu hal yang saat ini menjadi sorotan penting dari terjadinya perang di Ukraina maupun di Timur Tengah, penggunaan drone akan semakin masif. Kewaspadaan terhadap serangan drone murah yang membawa munisi di mana jenis drone ini sulit terdeteksi oleh radar karena terbang rendah menjadi satu catatan penting yang tidak boleh diabaikan. Serangan drone kamikaze atau jenis First-Person View (FPV), walau berukuran kecil, terbukti telah banyak menghancurkan aset-aset bernilai tinggi, termasuk personel militer dan peralatan tempur canggih dan mahal.

Sebagai catatan tambahan, di matra laut pun penggunaan Unmanned Surface Vehicle (USV) atau drone boat bersejata, telah berhasil menghancurkan kapal-kapal perang musuh berukuran besar. Senjata-senjata tak berawak jenis kamikaze, akan menjadi ancaman serius yang memerlukan kewaspadaan tambahan.

Semakin kuat dan semakin canggih suatu angkatan udara, tentu saja akan menjadi penangkal yang kuat bagi suatu negara dalam mempertahankan kedaulatan wilayahnya, baik darat, laut, maupun udaranya. Angkatan udara berperan sekaligus sebagai mata dan telinga, serta tangan untuk memukul musuh dengan kecepatan yang tinggi. Angkatan udara juga menjadi payung bagi serangan matra lain dalam suatu peperangan. Sebaliknya, angkatan udara suatu negara yang lemah, tentu akan mudah untuk dikalahkan oleh musuh.

Di usianya yang ke-78 tahun, TNI AU harus semakin berbenah dan meningkatkan profesionalismenya. Di sisi yang lain, negara memiliki kewajiban mutlak untuk melengkapi alutsista canggih serta anggaran yang memadai untuk memiliki Sayap Tanah Air yang profesional, modern, dan tangguh.

Dirgahayu TNI Angkatan Udara. Swa Bhuwana Paska. Sayap Tanah Air… (Roni Sontani)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *