AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Selain berencana mengakuisisi 42 jet tempur Rafale dari Prancis (kontrak efektif untuk 24 unit sudah berjalan saat ini), Kementerian Pertahanan RI juga sedang berupaya untuk membeli 24 jet tempur F-15EX dari Amerika Serikat.
Proses pengadaan F-15EX buatan Boeing tersebut membutuhkan waktu karena terkait berbagai hal, termasuk pembiayaanya.
Meski demikian, secara prinsip Amerika Serikat telah memberikan izin bagi penjualan 36 F-15EX ke Indonesia (dan telah memberikan kode F-15ID untuk Indonesia) dengan taksiran harga total mencapai 13,9 miliar USD. Hal ini secara resmi telah diumumkan di laman DSCA.
Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo mengatakan, pengadaan jet tempur F-15EX bagi Indonesia memerlukan waktu paling tidak lima tahun dari mulai kontrak berjalan hingga pesawat pertama datang.
“Jadi, bila kita kontrak (berjalan) tahun ini, maka pesawat pertama baru datang nanti tahun 2028,” kata Kasau dalam perbincangan dengan Airspace Review dan beberapa media lain di Markas Besar TNI Angkatan Udara (Mabesau), Cilangkap, Jakarta Timur, Senin.
F-15ID merupakan salah satu harapan bagi Indonesia untuk mendapatkan jet tempur mutakhir selain Rafale dari Prancis.
Mengenai penempatan F-15EX nantinya, Kasau mengatakan bisa di Makassar (Lanud Sultan Hasanuddin) atau di Madiun (Lanud Iswahjudi).
“Ya, kalau misalnya Sukhoi tidak bisa dipertahankan lagi, F-15EX bisa ditempatkan di Makassar. Tapi kalau (Sukhoi) masih berlanjut, bisa ditempatkan di Madiun,” ujar Kasau.
Terkait pengadaan pesawat tempur ke depan, TNI AU tentu juga membutuhkan tambahan penerbang yang lebih banyak.
Hal ini, lanjut Kasau, bisa disiasati dengan menyekolahkan calon siswa penerbang ke luar negeri. Calon siswa penerbang bisa dari Taruna Akademi Angkatan Udara (AAU) atau melalui jalur Penerbang PSDP (Prajurit Sukarela Dinas Pendek).
Bila kapasitas untuk menghasilkan penerbang di dalam negeri sudah penuh, pendidikan calon penerbang bisa ditempuh di luar negeri, akan disesuaikan, pungkas Kasau didampingi Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau) Marsma TNI R. Agung Sasongkojati.
-RNS-
Sedih juga sebenarnya karena desain Sukhoi sangat cantik, tapi juga gagah dan mengintimidasi. Kalao disimak pernyataan Kasau, nampaknya F 15ID akan menggantikan Sukhoi sebagai sebagai primary fighter sedangkan Rafale menggantikan F 16 sebagai daily/workhorse.
Kalau KF 21 Boramae? Kemudian Hawk 109/209?
Untuk Hawk seharusnya bisa digantikan KF 21 tapi kalau ketinggian ya bisa digantikan dengan FA 50. Peer TNI AU selain mengganti 737 Surveiller juga mengganti barisan Hawk 109/209.
Bukan masalah cantik atau gagah²an penyakit pesawat Rusia operasionalnya,perawatan, dan suku cadang nya mahal. Di tambah kalo repair sama overhaul mesti ke Rusia atau ke Ukraina/belarus.
Gk butuh bentuk intimidatif, operating cost, combat approve yg penting. Lg udh masuk era BVR bisa di LNR dr jarak jakarta bandung
Padahal sukhoi lumayan bandel, dari 16 yg dimiliki semuanya komplit. Beda dg buatan barat dan Korea, banyak yg sdh berguguran. Dan nilai segitu bisa dpt Su.-57 pesawat lbh canggih dg desain baru.