AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Bersamaan dengan bergeloranya kampanye Trikora untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia pada tahun 1962, Operasi Jayawijaya segera digelar.
Dalam rencana operasi tersebut ditetapkan bahwa pelaksanaan operasi dibagi dalam empat tahap, yaitu Tahap Show of Force, Tahap Infiltrasi, Tahap Exploitasi, dan Tahap Konsolidasi.
Pada Tahap Infiltrasi berbagai kegiatan tempur dari unsur-unsur dilaksanakan termasuk dari unsur laut.
Pada saat itu, TNI Angkatan Laut mengemban tugas untuk melaksanakan tiga hal, yaitu melaksanakan patroli perang di perairan perbatasan Irian Barat untuk mengimbangi aktivitas musuh, melaksanakan pengintaian, serta melaksanakan pengembangan dan konsolidasi pangkalan-pangkalan depan bagi persiapan operasi militer besar di Irian Barat.
Mengacu pada tulisan di Majalah Cakrawala, Dispenal No. 360 tahun 1999 disebutkan, pengendalian tugas tersebut dilaksanakakn oleh Komando Depan Angkatan Laut Mandala (Kopanalla) yang terdiri atas:
1. Angkatan Tugas Amfibi (ATA)-11 yang terdiri dari RI Nanggala
2. ATA-12 terdiri dari RI Suropati dan RI Imam Bonjol
3. ATA-13 terdiri dari RI Todak dan RI Busara
4. ATA-14 terdiri dari RI Rakata
5. ATA-15 terdiri dari RI Layang dan RI Lumajang
6. ATA-16 terdiri dari RI Roma, RI Pulau Rengat, dan RI Pulang Rangsang
7. ATA-17 terdiri dari RI Pattimura dan RI Bunyu
Untuk operasi kapal selam meliputi:
1. Operasi Antareja dengan melibatkan unsur RI Nanggala, berlangsung pada 28 Februari hingga 2 Mei 1962.
2. Operasi Alugoro, melibatkan unsur RI Wijayadanu, RI Hendrajaya, RI Bramasta, RI Pasopati, RI Cundamani, dan RI Alugoro, berlangsung pada 28 Juli hingga 26 Agustus 1962.
3. Operasi Cakra yang dalam pelaksanan tugasnya dibagi menjadi:
a. Operasi Cakra I: RI Nagabanda, RI Trisula, RI Candrasa, dan RI Nagarangsang, berlangsung pada 20 Juli hingga 29 Juli 1962.
b. Operasi Cakra II: RI Trisula, RI Candrasa, dan RI Nagarangsang, berlangsung pada 15 Agustus 1962.
36 jam di dasar Samudra Pasifik
Operasi Cakra I yang melibatkan empat kapal selam, mengemban tugas pengintaian di kota-kota pelabuhan penting di Irian Barat untuk Pemburuan Bebas (Free Hunting) dan Perang Perbatasan (Border Clash). Sedangan RI Nagabanda-503 sebagai salah satu unsurnya bertugas mengadakan pengintaian antara Kotabaru dan Biak.
Pengintaian-pengintaian dilakukan secara teliti dan rahasia. Perubahan-perubahan baru segera dilaporkan sehingga pimpinan selalu mendapatkan data-data musuh yang terbaru.
Hal itu penting dalam suatu operasi amfibi agar pasukan yang akan didaratkan nantinya tidak dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan yang belum diketahui sebelumnya.
Pada saat RI Nagabanda berada di Samudra Pasifik, tepatnya di sebelah utara Irian Barat untuk menunaikan tugas pengintaian, keberadaannya terdeteksi oleh kapal Belanda jenis perusak buru selam.
Perlu diketahui bahwa bila kapal selam telah terdeteksi terlebih dahulu oleh kapal buru selam lawan, maka kapal selam tersebut berada dalam posisi yang lemah.
Untuk itu satu-satunya jalan harus dapat menghindar dari penghancuran lawan.
Taktik yang digunakan untuk menghindarkan diri adalah dengan berdiam diri di dasar laut. Semua alat-alat listrik yang memunculkan getaran segera dimatikan.
Tindakan itu dilakukan untuk menghemat pemakaian listrik yang hanya dihasilkan oleh satu-satunya sumber tenaga listrik yaitu baterai kapal.
Selain itu juga dilakukan tindakan untuk menghemat oksigen di ruangan, yang berarti mengurangi gerak fisik tubuh awak kapal selam.
Dapur dimatikan sehingga makanan sangat terbatas, anggota hanya makan dari makanan kering darurat yang tersedia sangat minim di tiap ruangan kapal.
Suatu pilihan yang sangat sulit, dari layar monitor sonar pasif terlihat kilatan-kilatan yang diduga berasal dari ledakan-ledakan bom laut yang dijatuhkan dari kapal buru selam lawan untuk menghancurkan RI Nagabanda.
Satu hari satu malam para awak kapal selam RI Nagabanda tetap siaga tempur di bawah permukaan laut.
Untuk itulah maka oksigen di ruangan kapal harus benar-benar dihemat karena mereka sendiri tidak tahu harus berapa lama menunggu lawan hingga pergi.
Alat regenerasi udara di ruangan tipe RUKT 4 dinyalanan, selain membutuhkan aliran listrik juga akan menimbulkan panas. Akibatnya udara di ruangan terasa pengap dan temperatur naik.
Tidak ada yang dapat diperbuat oleh para anggota selain saling berpandangan dan larut dengan pikiran di benak masing-masing. Bahkan, ada awak yang menitikkan air mata. Mungkin dia berpikir inilah saat-saat terakhir menjelang kematian.
Setelah 36 jam RI Nagabanda membenamkan diri di dasar samudra, tampaknya kapal lawan telah yakin bahwa RI Nagabanda telah terkubur di dasar Samudra Pasifik.
Sonar pasif kapal meyakinkan bahwa cakrawala di atas permukaan telah aman.
Pelan-pelan RI Nagabanda timbul dan ternyata benar bahwa kapal lawan telah meninggalkan gelanggang laga. RI Nagabanda betu-betul nama senjata ampuh dalam cerita pewayangan.
Dalam pelayaran kembali ke Surabaaya untuk melakukan reparasi, RI Nagabanda berlayar tidak menyelam dalam air, karena pasak-pasak pengunci kemudi horisontal belakang dan stabilisator lepas dan hilang.
Selain itu baja perlindungan propeler kapal mencuat sehingga membahayakan untuk pelayaran menyelam.
Sampai di pangkalan Surabaya kapal mendapat prioritas naik dok untuk dilakukan perbaikan. Selesai menjalani perbaikan, RI Nagabanda segera berangkat lagi ke medan laga,
-Poetra-