AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Helikopter untuk utilitas bisnis di Indonesia sudah ada sejak 30 tahun lalu. Namun pemanfaatan helikopter di Tanah Air masih minim bila dibanding negara-negara lain seperti di Jepang, Prancis, dan Amerika Serikat.
CEO Whitesky Group Denon Prawiraatmadja mengatakan hal itu saat berbincang dengan Airspace Review di ajang Heli Expo Asia (HEXIA) 2023 yang baru selesai digelar di Cengkareng Heliport (CHP), Kompleks Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang pada 15-18 Juni.
“Di negara lain, utilisasi helikopter itu sudah sangat beragam, seperti untuk angkutan perkotaan, VIP transport, SAR, pemadam kebakaran hutan, dan lainnya,” ujar Denon yang juga Ketua INACA (Indonesia National Air Carriers Association) ini.
Oleh karenanya, melalui ajang seperti HEXIA ini Denon berharap masyarakat lebih mengenal helikopter, sehingga helkopter tidak lagi dipandang sebagai alat transportasi yang mewah.
Harapan ini seiring target di mana pada tahun 2045 Indonesia telah mencanangkan untuk keluar dari middle trap income dan harus menjadi negara dengan perekonomian terbesar nomor empat di dunia.
Salah satunya, kata Denon, adalah dengan cara memperkenalkan bahwa industri helikopter ini bisa berfungsi sebagai moda transportasi lainnya.
“Jadi harapannya atau targetnya masyarakat mengenal, mereka bisa berkarier atau berbisnis di industri helikopter,” ujar lulusan Teknik Arsitektur Universitas Tri Sakti tahun 1997 ini.
Denon punya harapan besar untuk terus mengembangkan dunia helikopter di Indonesia.
“Tadi pagi kita ada tandatangan dengan PPI Curug untuk mencetak pilot-pilot helikopter. Kita juga sudah tanda tangan dengan Kabandara Berau untuk membangun heliport berikutnya di Berau. Jadi ajang seperti HEXIA ini adanya di negara-negara, di Australia atau Singapura. Nah di Indonesia, ini adalah yang pertama kali. Mudah-mudahan bermanfaat dan memberikan efek domino yang berkelanjutan,” harapnya.
Lalu mengapa tingkat pertumbuhan bisnis helikopter di Indonesia masih rendah, padahal luas Indonesia paling besar dibandingkan dengan negara-negara ASEAN misalnya.
“Memang yang pertama adalah daya beli masyarakat. Jadi sepanjang nilai tukar rupiah dengan mata uang asing disparitasnya masih jauh, kalau tidak ada solusi kreatif antara operator dengan manufaktur dan pembiayaan, tentu ini menjadi tidak terjangkau. Alhamdulillah kita mendapatkan support dari manufaktur dan leasing company,” ujar Denon.
Yang kedua dan sangat berperan, lanjutnya, adalah pemerintah, dalam hal ini regulator.
“Kalau misalnya pemerintah memberikan banyak aturan-aturan yang berkaitan dengan operasional helikopter ini lebih baik, contohnya tentang terbang malam, tentu masyarakat memanfaatkan helikopter misalnya untuk kebutuhan medical, emergency evacuation, seperti kecelakaan di jalan tol misalnya, ini bisa dimanfaatkan. Nah sekarang kan regulasi VFR-nya baru dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore. Kalau operasi penerbangan malam belum diizinkan, sementara di luar negeri sudah 24 jam.”
Denon mencontohkan, di China beberapa tahun yang lalu masih melarang adanya flying object di bawah ketinggian 5.000 kaki, helikopternya di sana hanya ada 200-300 saja. “Tetapi begitu pemerintah China membuka, bahwa boleh dilakukan penerbangan any flying object below 5,000 feet, helikopter langsung tumbuh. Jadi peran pemerintah dalam menerapkan kebijakan sangat berpengaruh pada industri helikopter,” jelasnya.
Denon mengatakan, yang nantinya menikmati aturan ini tidak hanyak pebisnis saja, tetapi masyarakat ikut menikmatinya juga.
Mengenai biaya sewa helikopter, menurut Denon relatif masih terjangkau.
“Misalnya untuk penerbangan Jakarta-Bandung, mungkin bila dengan rate yang normal di atas 20 juta. Tapi kalau ada tiket promo dan sebagainya untuk tiga orang, menurut saya, memang tidak bisa disamakan dengan kereta api, tapi harganya itu cukup masuk akal,” ungkapnya.
Untuk Whitesky sendiri melalui bisnis usaha HelCity, saat ini pasar penggunaannya lebih banyak untuk penerbangan rute Jakarta-Bandung, Jakarta-Cilegon, Jakarta-Sukabumi, dan sebagainya. Denon mengakui pasarnya sudah mulai terbuka.
Ia menyatakan, Indonesia dengan masih 200 unit helikopter, sementara memiliki wilayah yang sangat besar dengan lebih 17.000 pulau, memiliki room to grow yang masih banyak.
Dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia yang luas wilayahnya lebih kecil dibanding Indonesia, di sana populasi helikopter sudah lebih dari 400 unit.
-Poetra-