AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Pentingnya memiliki armada pesawat tempur dalam jumlah yang cukup untuk menopang kekuatan angkatan udara dan melindungi kedaulatan negara, kini dirasakan benar oleh Ukraina yang dalam setahun terakhir mendapat gempuran sengit dari pasukan Moskow.
Dari sisi peperangan yang berada di medan laga dalam negeri, Ukraina terbilang lebih menguasai dan lebih paham di mana mereka harus bersembunyi dan menyerang, atau menjebak pasukan Rusia untuk masuk ke dalam perangkap dan kemudian dihancurkan.
Terlebih di awal-awal peperangan, di mana strategi tempur Rusia tampak kacau dan banyak blunder yang berakibat pada tidak fokusnya penyerangan oleh Angkatan Dirgantara Rusia (VKS). Pasukan darat Rusia yang terlalu cepat masuk ke medan Ukraina, menyebabkan VKS yang sedang berkonsentrasi menghancurkan sistem pertahanan udara Ukraina, menjadi kalang kabut untuk mengalihkan konsentrasi demi melindungi pasukan darat Rusia.
Namun, itu pun telat dan tidak berhasil ketika kolom-kolom kendaraan tempur lapis baja Rusia, yang masuk ke Ukraina, yang seperti taktik penyerangan di era Perang Dunia II, telah menjadi makanan rudal-rudal panggul antitank, senjata lawan tank, maupun bom yang dilepaskan oleh drone pasukan Ukraina. Padahal, perang modern sebelum ini sebenarnya telah memberikan pelajaran berharga di mana drone adalah musuh utama bagi pasukan tank, sehingga kini timbul pemeo bahwa pasukan tank tidak lagi hanya melihat ke depan, melainkan harus melihat ke atas. Perang di Nagorno-Karabakh sebelum ini adalah salah satu fakta di mana drone yang dimiliki pasukan Azerbaijan bisa melahap dengan leluasa pasukan Armenia tanpa banyak kerugian di pihak Azerbaijan.
Azerbaijan memiliki banyak drone yang bisa beroperasi secara otomatis dan bisa digunakan untuk untuk pengintaian sekaligus menentukan lokasi target. Drone Bayraktar TB2 adalah salah satu bintang dalam perang antara dua negara itu. Keandalan TB2 seakan meneruskan kesuksesannya dalam Perang Saudara di Suriah dan juga dalam operasi yang dilancarkan Turki di Libya.
Dari sisi pertempuran udara, Rusia yang memiliki armada jet tempur lebih modern dibandingkan Ukraina, sebenarnya memiliki peluang yang lebih besar untuk menang. Akan tetapi, akibat kesalahan strategi tadi, pesawat-pesawat canggih macam pembom-tempur Su-34 yang harusnya sukses membombardir objek-objek vital dan sistem pertahanan udara Ukraina, malah menjadi santapan rudal Stinger karena terbang terlalu rendah atau menjadi makanan rudal-rudal pertahanan udara jarak menengah seperti Buk-M1 maupun S-300.
Meski begitu, Rusia tampak tetap jor-joran dan tidak mengindahkan kerugian yang sangat besar akibat salah strategi bertempurnya itu. Kremlin yang merasa masih punya banyak pesawat bahkan hingga ratusan unit jet tempur MiG dan Sukhoi, tetap percaya diri akan bisa menghancurkan Ukraina dalam hitungan hari. Dibandingkan dengan Perang Teluk yang dilancarkan Pasukan Koalisi pimpinan Amerika Serikat, sangat jauh dengan strategi perang yang diterapkan oleh Moskow di Ukraina. Tak heran, bila Rusia terus mengalami kerugian dengan hancurnya kendaraan-kendaraan tempur darat maupun udara seperti dilaporkan portal Oryx yang berpusat di Belanda.
Sepersepuluh jet tempur Rusia
Sementara armada tempur udara Ukraina, dengan perkiraan jumlah yang lebih sedikit, yakni 69 unit yang terdiri dari 43 MiG-29 dan 26 Su-27 (Flight International 2022) dapat dikatakan hanya sepersepuluh dari kekuatan Angkatan Dirgantara Rusia. Kelebihan Angkatan Udara Ukraina, adalah mampu bertempur secara hemat di mana mereka menghitung betul kapan harus terbang dan menyerang pesawat Rusia. Lepas dari kontroversi, kemudian muncul pahlawan udara Ukraina yang dipersonifikasikan sebagai “Ghost of Kyiv” di mana dalam satu hari penerbang yang dikatakan baru berusia 29 tahun itu berhasil menjatuhkan enam pesawat Rusia dalam satu hari.
Ukraina dengan jet tempur lama mereka, Su-27 dan MiG-29 peninggalan Uni Soviet, dapat memberikan perlawanan terhadap jet-jet tempur Rusia yang lebih canggih dari keluarga Su-30. Namun, entah bagimana caranya, pilot-pilot Angkatan Udara Rusia seperti kikuk yang kemudian bisa ditekuk pilot-pilot Ukraina di wilayah udaranya. Seorang pilot jet tempur Rusia yang berhasil eject dari pesawat yang dirontokkan pasukan Ukraina di awal perang, kemudian diviralkan videonya di media sosial oleh pemerintah Ukraina maupun para netizen pendukung Ukraina. Berita-berita berikutnya di media sosial, pun kerap memperlihatkan puing-puing jet tempur maupun helikopter Rusia yang berhasil ditembak dalam ketinggian rendah.
Meski pasukan Rusia selalu yang diberitakan menderita kekalahan besar dari pasukan Ukraina, faktanya pasukan Ukraina juga kedodoran. Dapat dimaklumi karena atrisi pesawat tempur pun terjadi di pihak Ukraina. Dengan berkurangnya persediaan pesawat tempur, terlebih setelah pengeboman armada MiG-29 oleh pasukan Rusia, Ukraina pada akhirnya berteriak minta tolong kepada Amerika dan negara-negara Barat agar dapat mengirimkan jet-jet tempur canggihnya seperti F-16 ke Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang menyampaikan langsung berkali-kali di forum aliansi AS dan negara-negara pendukung perjuangan Ukraina.
Zelensky menegaskan, Ukraina tidak meminta tentara Amerika untuk berperang di tanah mereka. Yang Ukraina butuhkan adalah bahwa tentara Ukraina mendapatkan jet tempur dari AS dan negara-negara pendukung lainnya. Pernyataan Zelensky pada bulan Desember 2022 kepada Kongres AS itu kemudian mendorong sejumlah anggota parlemen bipartisan mendesak pemerintahan Joe Biden untuk menyediakan F-16 atau pesawat tempur lainnya ke Ukraina. Mereka juga meminta agar Gedung Putih segera membuat keputusan sehingga pilot-pilot Ukraina dapat segera dilatih di AS.
Dalam perjalanannya kemudian, ternyata tidak mudah bagi AS untuk memberikan bantuan berupa jet tempur F-16 kepada Ukraina. Bahkan, Presiden Joe Biden sendiri saat ditanya wartawan Gedung Putih apakah akan mengirimkan jet tempur ke Ukraina, menjawab dengan tegas dan pendek, “No!”.
Tentunya banyak hal dipertimbangkan Biden yang telah berkonsultasi dengan para penasehat militernya untuk tidak memberikan bantuan pesawat F-16. Dengan tidak mau memberikan jet F-16 ke Ukraina saat dalam kondisi berperang dengan Rusia ini, menjadi indikator bagi negara-negara Eropa yang tadinya mau menyumbangkan F-16 hingga akhirnya mengurungkan niat karena penjualan maupun donasi sistem persenjataan yang telah dijual oleh AS, tetap harus dalam persetujuan Washington apabila ingin dialihkan ke negara lain. Jangankan dalam kondisi perang seperti Ukraina, sedangkan Kroasia yang telah berniat untuk membeli jet tempur F-16 bekas Israel pun akhirnya harus membatalkan niatnya karena AS tidak mengizinkan. Kroasia selanjutnya memutuskan untuk membeli jet tempur bekas pakai Angkatan Udara dan Antariksa Prancis (AAE).
Menimbang bahwa untuk mendapatkan jet tempur F-16 membutuhkan persyaratan yang rumit dan juga membutuhkan pelatihan yang lebih lama bagi pilot-pilot Ukraina, sebenarnya jet tempur yang paling cocok untuk disumbangkan ke Ukraina itu adalah Su-27/30 atau MiG-29. Sebab, dengan kedua jet tempur tersebut pilot-pilot Ukraina tidak akan kesulitan lagi untuk mengoperasikan maupun melakukan pemeliharaannya.
Saat ini dua negara yakni Slowakia dan Polandia telah menyatakan kesediaannya untuk menyumbangkan armada MiG-29 ke Ukraina. Walaupun status dari MiG-29 yang akan ditransfer oleh Slowakia dan Polandia itu dalam keadaan telah dipensiunkan di negara masing-masing, pesawat-pesawat tersebut minimal dapat digunakan suku cadangnya untuk menopang armada MiG-29 yang masih dioperasikan oleh Angkatan Udara Ukraina.
Satu pelajaran yang dapat dipetik dari kasus kebutuhan yang mendesak dari Ukraina untuk memiliki armada tempur udaranya ini, adalah bahwa tidak ada yang instan untuk bisa memperkuat sebuah angkatan udara. Dibutuhkan penyiapan infrastruktur, pelatihan pilot dan teknisi yang tidak singkat, serta persenjataan yang mendukung.
Dalam hal senjata, Polandia mengklaim telah mampu mengintegrasikan senjata standar NATO ke pesawat peninggalan Uni Soviet, seperti halnya mengintegrasikan rudal antiradiasi AGM-88 HARM (High-speed Anti-Radiation Missile) dengan jet tempur MiG-29 maupun Su-27. Polandia juga menyebut mampu untuk mengintegrasikan pembom tempur Su-24 Fencer milik Angkatan Udara Ukraina dengan rudal jelajah Storm Shadow atau SCALP.
Seperti diketahui, Polandia sebagai sekutu terdekat Ukraina, memiliki dua fasilitas perbaikan pesawat yang cukup mumpuni, seperti PZL di Mielec maupun WZL di Warsawa dan Bydgoszcz. Industri manufaktur dirgantara Polandia ini telah lama berkolaborasi dengan pabrik-pabrik dirgantara dari Barat.
Penggunaan jet tempur F-16 oleh Ukraina, mungkin baru akan diberikan izin oleh Washington di saat Kyiv dan Moskow telah berdamai dan mengakhiri perang mereka. Kembali, itu pun dengan beragam catatan dan pertimbangan yang tidak akan sembrono dilakukan oleh AS. Sebagai pelindung utama Ukraina, dikuatkan dengan pernyataan Presiden Joe Biden yang mengatakan bahwa Amerika Serikat akan berada di belakang Ukraina dan melindungi kedaulatan Ukraina, AS tentu tahu apa yang dibutuhkan Ukraina saat ini. AS juga tahu strategi yang tepat untuk memberikan bantuan kepada Ukraina dan bagaimana cara menghadapi Rusia yang menginvasi Ukraina.
-RNS-