AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Berita terbaru yang ditulis oleh harian Prancis, La Tribune, cukup melegakan di mana Indonesia disebutkan telah siap dengan penambahan 18 unit jet tempur Rafale, untuk melengkapi enam unit yang telah dipesan pada tahap pertama. Uang muka untuk pengadaan Rafale gelombang kedua ini diberitakan telah dibayarkan oleh Jakarta.
La Tribune sebagai media Prancis, tentu berkepentingan untuk memberitakan hal itu. Sebab, dampak dari good news ini akan semakin menguatkan posisi industri dirgantara Dassault Aviation, kebanggaan Prancis, di antara para pabrikan besar dunia dengan produk jet tempur dan juga jet bisnisnya tersebut.
Sangat disayangkan informasi seperti itu hanya didapatkan dari pihak asing atau media-media luar negeri. Sedangkan media di dalam negeri tidak mendapatkan informasi maupun update resmi dari Kementerian Pertahanan RI terkait akuisisi sistem persenjataan, terlebih menyangkut anggaran atau pembiayaannya. Kalaupun muncul informasi, biasanya terbatas di grup-grup privat, dari sumber yang berbaik hati membagi informasi.
Mahakarya Dassault
Rafale merupakan salah satu mahakarya Dassault Aviation, pabrik yang dalam sejarahnya didirikan oleh Marcel Bloch pada tahun 1929 dengan nama Société des Avions Marcel Bloch atau biasa disingkat MB.
Sekilas mengenai industri pesawat ini, usai Perang Dunia II sang pendiri Marcel Bloch mengubah namanya menjadi Marcel Dassault, dan ia pun mengubah nama perusahaannya menjadi Avions Marcel Dassault pada 20 Januari 1947. Pada tahun 1990, nama perusahaan diubah lagi menjadi Dassault Aviation hingga saat ini. Dassault Aviation merupakan anak dari Dassault Group.
Dassault Aviation berhasil memproduksi jet tempur yang namanya cukup berkibar di dunia. Selepas Perang Dunia II, Dassault memproduksi jet tempur Ouragan (1949), Mystère (1951) berikut turunannya, kemudian Étendard (1956) dan turunannya, Mirage III (1956), Super Étendard (1974) dan turunannya, Mirage IV (1959, Mirage F1 (1966), Mirage V (1967), Apha Jet (1973), Mirage 2000 (1978) dan turunannya, serta Rafale (1986) yang kini melambung namanya dan menjadi incaran banyak negara di dunia.
Sementara untuk jet bisnis, Dassault punya produk yang juga cukup berkibar juga. Brand jet bisnis Falcon dibuat sejak tahun 1963 dengan nama Falcon 20/200 berikut pengembangannya. Pesawat ini kemudian dikembangkan lagi ke serial Falcon 900 (1984), Falcon 2000 (1993), Falcon 7X (2005), Falcon 8X (2016), Falcon 5X (2017), Falcon 5X (2021), dan rencana berikutnya Falcon 10X (2025).
Pengadaan terbesar
Hal lain yang patut dicatat dari proyek akuisisi jet tempur Rafale oleh Indonesia, Kementerian Pertahanan RI telah mencanangkan pembelian 42 unit Rafale dari Dassault Aviation. Penandatanganan kontrak pembelian enam unit pertama Rafale, dilaksanakan pada 10 Februari 2022 di Jakarta, disaksikan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly saat itu.
Dapat dikatakan, pengadaan jet tempur bersayap delta ini merupakan salah satu yang terbesar setelah era Presiden Soekarno di tahun 1960-an dengan pesawat-pesawat tempur dan pembomnya dari Uni Soviet dan pembelian Hawk 100/200 sebanyak 40 unit dari Inggris di era Presiden Soeharto. Selebihnya, pemerintah membeli jet tempur dalam jumlah cakupan satu skadron antara 12-18 pesawat, umumnya 16 unit.
Pembelian 24 jet F-16C/D Block 25 bekas pakai USAF (Air National Guard) yang kemudian di-upgrade setara Block 52, merupakan satu terobosan tersendiri dari pemerintah Indonesia di tahun 2012. Program upgrade pesawat ini memakan waktu lima tahun yang ditandai dengan datangnya empat pesawat F-16C/D Block 52ID pertama dari Proyek Peace Bima Sena II pada bulan Maret 2017. Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, juga terdapat pengadaan pesawat tempur lainnya, jet latih/tempur ringan, pesawat serang darat, hingga pesawat latih dasar. Sebut antara lain Su-27/30 dari Rusia, KT-1B dan T-50i dari Korea Selatan, EMB-314 Super Tucano dari Brasil, pesawat Grob G 120TP dari Jerman, dan lainnya.
Di era Presiden Joko Widodo dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, telah masuk dalam daftar pembelian pesawat tempur yang lebih banyak lagi, yakni 42 Rafale dari Prancis, 36 F-15EX Eagle II dari Amerika Serikat, 12 Mirage-2000-5 bekas AU Qatar, dan juga masih menunggu KF-21 Boramae (IF-21) dari Korea Selatan.
Nilai akuisisi satu tipe jet tempur, tentu saja sangat besar. Untuk pengadaan 42 Rafale, misalnya, Jakarta harus mengalokasikan anggara kurang lebih 8,1 miliar dolar AS, yang kalau dirupiahkan lebih dari Rp125 triliun.
Kita sebagai bagian dari bangsa, tentu menaruh harapan besar kepada pemerintah, siapapun yang berkuasa, untuk melengkapi alat utama sistem persenjataan (alutsista) guna menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari potensi gangguan dan ancaman asing. Sebab, investasi pada sistem persenjataan tempur merupakan bagian dari pembangunan sistem pertahanan negara.
Negara Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam dan berada di posisi strategis dunia, membutuhkan pertahanan yang kuat sebagai yang akan menjadi penangkal serangan musuh sekaligus menjadi alat diplomasi dengan bangsa-bangsa lain. Negara yang kuat, dari sisi pertahanan dan ekonomi tentunya, akan disegani di kawasan maupun tingkat global.
Dukungan anggaran pemeliharaan dan operasional
Rencana pengadaan pesawat tempur dalam jumlah yang banyak, seperti telah disebut sebelumnya, di satu sisi tentu saja melegakan. Namun demikian, di sisi yang lain ada satu hal yang perlu dipertimbangkan juga oleh pemerintah, yaitu adanya jaminan mengenai kesinambungan sistem pemeliharaan dan pengoperasiannya di masa mendatang. Patut kembali diingatkan, bahwa membeli pesawat tempur tidak lantas semuanya selesai ketika pesawat yang dipesan itu datang. Justru sejak itulah kebutuhan biaya-biaya lanjutannya akan muncul, yakni biaya untuk pemeliharaan dan operasionalnya.
Pembelian suku cadang pesawat akan terus berlangsung selama pesawat tersebut digunakan. Bagi pihak pabrikan, penjualan pesawat jelas menguntungkan, sebab selama kurun 30-35 tahun ke depan suku cadang pesawat bersangkutan akan terus dibeli untuk mempertahankan kelangsungan operasionalnya. Ketika pembelian suku cadang disetop, maka sistem kanibalisasi terhadap pesawat lainnya tidak akan terhindarkan.
Dari sisi operator pesawat tempur, prinsip penyederhanaan tipe sejatinya merupakan pilihan yang tepat. Kembali mengingatkan, bahwa semakin banyak sumber pabrikan, akan semakin besar pula biaya yang akan dikeluarkan. Sebab, terjadi divergensi pemeliharaan yang berkaitan dengan kebutuhan suku cadang dari pabrikan-pabrikan yang berbeda pula. Sementara dalam hal pembelian suku cadang, pihak pabrikan biasanya menerapkan aturan di mana pembelian harus dalam jumlah/kuota tertentu yang mungkin akan lebih banyak dari kebutuhan suku cadang sesungguhnya.
Menilik TNI Angkatan Udara, saat ini mengoperasikan pesawat tempur yang beragam. Mulai dari F-16, Su-27/30, T-50i, dan Hawk 100/200. Bila ditambah dengan Rafale, F-15EX, Mirage 2000, dan KF-21, maka akan semakin banyak lagi tipe yang digunakan.
Mengopersikan pesawat baru (namun bekas) seperti Mirage 2000-5 dari Qatar, akan membutuhkan penyiapan infrastruktur dan SDM yang baru pula. Walaupun dikatakan, tujuan dari pembelian pesawat bekas ini hanya untuk menutupi kebutuhan mendesak sambil menunggu pesawat baru yang akan datang. Prinsipnya, mengoperasikan pesawat sebagai penempur interim pun, penyiapan dan pengoperasiannya akan sama dengan penyiapan untuk pesawat baru, karena pesawat yang dibeli merupakan tipe baru bagi TNI AU yang artinya semuanya dimulai dari nol.
Pesawat tempur yang bersifat sementara, apakah untuk digunakan selama 10-15 tahun, tetap saja membutuhkan biaya pemeliharaan dan pengoperasian yang besar. Jadi, untuk pengadaan pesawat bekas sebagai tipe baru, pada akhirnya akan menelan biaya yang sama besarnya dengan penyiapan pesawat yang benar-benar baru dari pihak pabrikan.
Berbeda misalnya, bila pemerintah menambah F-16 bekas, ekosistem pesawat ini sudah dikuasai oleh TNI AU selama lebih 33 tahun sejak Desember 1989. Biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan dan pengoperasiannya pun tentunya akan lebih murah dibanding pesawat tipe baru yang sama sekali belum dikuasai. Demikian juga dengan pelatihan penerbang-penerbang barunya, karena sudah banyak Instruktur Penerbang pesawat F-16 di TNI AU. Dengan populasi F-16 yang dimiliki dalam jumlah banyak, pengadaan suku cadangnya pun tentunya akan lebih murah ke pihak pabrikan. Logikanya seperti itu. Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud untuk menggiring pada pengadaan F-16.
Berkaca pada Ukraina yang kalang-kabut mencari pesawat tempur baru untuk berperang dengan Rusia, faktanya tidak semudah itu bisa dilakukan. Bagaimana pun penyiapan sumber daya manusia untuk menguasai suatu pesawat tipe baru, membutuhkan waktu yang lama. Mungkin paling cepat lima tahun. Untuk pelatihan pilotnya sendiri pun membutuhkan jam terbang yang memadai sampai dia berpredikat sebagai penerbang tempur yang berkualifikasi di mana ia benar-benar mahir mengawaki pesawat dengan pelatihan-pelatihan tempur udaranya.
Seorang penerbang untuk bisa dikatakan berkualifikasi sebagai penerbang tempur, tentu harus dilatih untuk terlibat dalam pertempuran udara ke udara, pertempuran udara ke darat, termasuk juga peperangan elektronik. Pilot pesawat tempur harus menjalani pelatihan khusus dalam peperangan udara termasuk dalam penguasaan pertempuran jarak dekat. Bila penerbang tempur memperoleh 200 jam terbang dalam setahun, maka untuk mencapai 1.000 jam terbang saja membutuhkan waktu lima tahun. Di atas 1.000 jam terbang di satu tipe pesawat tempur, umumnya penerbang sudah memiliki bekal yang cukup untuk bertempur menghadapi musuh. Harapannya begitu.
Terlepas dari semua yang penulis paparkan, Kementerian Pertahanan tentu telah mempertimbangkan banyak aspek secara matang sehingga mengambil keputusan untuk mengakuisisi beragam tipe pesawat tempur. Masyarakat tentunya juga bangga memiliki Angkatan Udara yang kuat dan tangguh.
Pengadaan 42 jet tempur Rafale, menjadi salah satu harapan baru bagi peningkatan kekuatan TNI Angkatan Udara di masa mendatang. Demikian juga dengan rencana akuisisi pesawat-pesawat tempur lainnya, yang didukung dengan kekuatan anggaran yang memadai untuk pemeliharaan dan operasionalnya.
-RNS-
Intinya semuanya tergantung dari kemampuan keuangan dari negara ini,klo negara ini keuangannya sehat ,senjata apapun bisa dibeli..tapi yg penting adalah investasi untuk masa depan ,kita tidak bisa terus menerus tergantung dari negara lain..harus mulai kemandirian seperti Korea Selatan yang saat ini secara perlahan sudah memproduksi senjata dengan tekhnologi tinggi sendiri dan bahkan sudah bisa meng ekspor ke negara yg membutuhkan
Tolong kembali ke keinginan presiden untuk membeli pesawat tempur baru. Karena bagaimanapun juga namanya pesawat bekas juga pasti pernah pakai….sehingga kondisi pasti partnya pun juga butuh penggantian. Artinya keselamatan pilot TNI AU adalah yang paling utama.