AIRSPACE REVIEW (airspace-review.coom) – Sejak berakhirnya Perang Dunia II, bisa dikatakan hampir tidak ada lagi perlombaan senjata antara Barat dan Timur. Namun demikian dunia penerbangan terus mengembangkan pesawat tempur baru sebagai hasil evaluasi PD II, baik di Front Eropa maupun Pasifik.
Kecepatan menjadi faktor penting tatkala para pilot veteran perang mendambakan pesawat tempur nan lincah, kecil, dan bertenaga. Dirumuskan bahwa pesawat tersebut haruslah ditenagai oleh mesin jet dengan axial turbin, sederhana dalam struktur serta bersayap swept-back.
Dari hasil olah desain, jadilah prototipe pertama yang diberi kode XP-86 Sabre. XP merupakan singkatan dari Experimental Pursuit. Pesawat ini menjadi cikal bakal F-86 setelah kebijakan Angkatan Udara AS (USAF) di tahun 1948 mengubah penulisan registrasi pesawat tempurnya menjadi F untuk Fighter, B untuk Bomber, dan A untuk Attack. Karena itu XP-86 menjadi XF-86 Sabre.
Tiga prototipe dibuat dan diuji coba baik secara statis maupun dinamis. Berbagai modifikasi terus dilakukan agar didapat bentuk pesawat yang sesuai dengan keinginan para pilot yaitu lincah, kecil, dan bertenaga. Prototipe pertama terbang perdana pada 1 Oktober 1947.
Sayang, setelah terbang sebanyak 241 kali, prototipe pertama tersebut jatuh dan terbakar pada akhir tahun 1940-an. Sedangkan prototipe kedua dan ketiga terus dioperasikan hingga medio 1953.
Dari hasil uji terbang ini akhirnya prototipe ketiga dapat dipersenjatai dengan enam senjata kaliber 12,7 (Browing M3 .50 inci) masing-masing dengan 300 peluru.
Meskipun masih membawa alat bidik manual jenis Mark-18 manual-ranging computing gun sight, daya tembak pesawat yang mampu terbang sampai 35.000 kaki saat itu sudah merupakan pesawat tempur terbaik di kelasnya.
Para pilot menyebut pesawat ini dengan Sabrejet, padahal nama resminya adalah North American F-86 Sabre.
Sampai tahun 1980 F-86 berhasil diproduksi sebanyak 11.785 unit. Masing-masing oleh North American 9.860 unit, Kanada sebanyak 1.813 unit, dan Avon Sabre dari Australia sebanyak 112 unit.
Dengan produksi sebanyak itu, F-86 menjadi pesawat tempur yang diproduksi paling banyak saat Perang Dingin berlangsung.
Bukan hanya itu prestasi pesawat pesaing MiG-15 dari Uni Soviet ini. Pada 26 April 1948, XP-86 berhasil terbang menembus kecepatan suara oleh pilot uji George Welch.
Meskipun F-86 dirancang untuk terbang subsonik, ternyata struktur badannya mampu menerima beban saat menembus kecepatan suara meski harus terbang secara dive tegak lurus ke bawah. Ini menjadikannya pesawat pertama yang dapat menembus kecepatan suara, selain pesawat motor roket Bell X-1 yang diterbangkan Chuck Yeager.
Belakangan F-86 saat diterbangkan pilot uji wanita Jacqueline Cochran juga dapat menembus sound barrier dan menjadikannya wanita pertama menembus kecepatan suara.
Melihat kemampuannya dan mudahnya merawat F-86 Sabre membuat banyak negara mengoperasikannya sebagai pesawat tim aerobatik.
Selain Thunderbird dari USAF, Golden Eagle dari Kanada, Black Panther dari Australia, Blue Impulse dari Jepang, Spirit-76 TNI AU juga menggunakan sepak terjang pesawat ini makin menggebu.
Tidak heran ketika Fuerza Aerea Boliviana yang mengoperasikan F-86 untuk melengkapi Bregada Aerea-21 yang bermarkas di Santa Cruz, baru menonaktifkan F-86F pada akhir 1993.
Padahal pesawat yang diproduksi tahun 1953 ini telah beroperasi lebih dari 40 tahun, waktu yang teramat lama bagi pesawat tempur untuk beroperasi.
-FDP/Poetra-