AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Unterseenboot (U-Boot/U-Boat) adalah sebutan Jerman untuk untuk kapal selam. Istilah ini telah muncul sebelum Perang Dunia I dan makin populer semasa Perang Dunia II. Tidak hanya untuk menyebut kapal selam Nazi Jerman, namun juga untuk menyebut kapal selam negara lain.
Keberadaan U-Boat Jerman membuat repot tentara sekutu di lautan. Sebab, ibarat kapal siluman mereka bergerilya di bawah permukaan air laut untuk memangsa kapal-kapal perang permukaan.
Selama tiga bulan pertama tahun 1942, misalnya, U-Boat Jerman berhasil menenggelamkan lebih dari 100 kapal di lepas pantai timur Amerika Utara, di Teluk Meksiko, dan di Laut Karibia.
Namun begitu, perjuangan bari para awak U-Boat Nazi Jerman pun tidaklah ringan. Demi membela negaranya, mereka rela hidup ‘menderita’ di dalam U-Boat.
Hidup di dalam kapal selam, apalagi pada zaman itu, bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan mental yang tinggi untuk dapat bertahan dan menjalankan misi.
Dalam buku German Weapons of World War II (Grange Books, 2001) disebutkan, para personel U-Boat harus mampu bertahan berminggu-minggu (bahkan sampai 12 minggu/3 bulan) di dalam U-Boat untuk tidak muncul ke permukaan.
Padahal, hidup di dalam U-Boat berarti harus bertarung dengan udara pengap dan panas. Rata-rata suhu di dalam kapal selam tersebut berkisar 35 C.
Di dalam kapal selam tidak ada fasilitas cuci yang memadai, sehingga aroma yang lebih tercium adalah bau badan kawan. Untuk mengurangi hal itu mereka menggunakan minyak wangi. Penyakit kulit dan pernafasan adalah hal lumrah yang dialami para awaknya.
Ruangan yang sempit di dalam U-Boat seringkali membuat para awak bersenggolan badan. Kalau tidur, mereka pun berbagi ruangan dengan torpedo.
Selama tidur, mereka tetap harus waspada. Tugas mereka memang memang bukan untuk pelesiran, melainkan bertempur degan cara menyusup dan melakukan penyerangan dari bawah air yang penuh risiko.
Satu-satunya hiburan bagi para awak U-Boat adalah ketika kapal selam mereka dapat muncul ke permukaan air di saat kondisi aman.
Naiknya U-Boat ke permukaan air pun, lebih kepada kebutuhan untuk mendapatkan suplai logistik.
Udara segar adalah barang langka dan mahal bagi mereka.
Saat U-Boat kembali menyelam, pada saat itulah pemandangan baru terlihat di mana banyak gantungan roti dan makanan untuk persediaan selama beberapa minggu ke depan di dalam U-Boat.
Kehidupan di dalam U-Boat, mungkin kurang lebih sama dengan kehidupan yang dialami para awak kapal selam Indonesia pada masa Trikora ketika kapal-kapal selam dari Uni Soviet baru diterima oleh Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) atau sekarang menjadi TNI AL.
Sesuai motto mereka, hidup di kapal selam memang harus “Tabah Sampai Akhir”.
-JDN-