AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – TNI Angkatan Udara sejak tahun 2014 telah merumuskan kebutuhan akan pesawat peringatan dini dan kontrol udara atau lazim disebut pesawat AEW&C (airborne early warning and control).
Hingga saat ini kebutuhan pesawat tersebut belum terpenuhi untuk mencapai Minimum Essential Forces (MEF) hingga tahun 2024.
Pesawat AEW&C yang dibutuhkan oleh TNI AU adalah pesawat yang memiliki kemampuan mengamati dan mengintai lawan serta mengarahkan kawan, sehingga sering juga disebut sebagai radar terbang (airborne radar).
Terdapat dua bagian penting dari sistem tersebut yaitu pesawat dan surveillance systems-nya sendiri.
Berdasar pada kebuturah operasional (operational requirement) dari Mabes TNI yang dirumuskan di tahun itu, ada beberapa hal persyaratan terkait spesifikasi teknis (spektek) yang harus terpenuhi, yaitu:
Untuk pesawatnya, harus mampu terbang dengan endurance minimum 10 jam. Pesawat harus mampu terbang pada ketingian minimum 35.000 kaki dan menjangkau jarak minimum 2.500 mil laut (NM).
Pesawat harus memiliki kemampuan sistem pertahanan diri (self defence), seperti RF Jammer, Radar Warning Receiver, Missile Approach Warning Systems, serta Chaff and Flares.
Pesawat juga harus memiliki kemampuan sebagai Central Datalink System.
Kelengkapan lain yang harus dimiliki adalah TCAS (Traffic Alert and Collision Avoidance Systems), IFF Interogator (kemampuan mengidentifikasi pesawat lawan atau kawan), dan pesawat dapat diperasikan segala cuaca (all weather capability).
Sementara untuk Surveillance System-nya harus memenuhi persyaratan-persyaratan yaitu: mampu mendeteksi sasaran 360 derajat dengan jarak minimum 200 mil laut (NM).
Pesawat harus dilengkapi dengan Radar Control and Maintenance Panel (RCMP), Plan Position Indicator Display, dan Fast Fourier Trabsform Display.
Kemampuan lain yang juga harus dimiliki adalah Pulse Doppler Non Elevation Scan Mode, Beyond the Horizon Mode, Interliaved Mode, Pulse Doppler Elevation Scan, Maritime Mode, dan Passive Mode.
Pesawat juga harus dilengkapi dengan sistem pernika (Auto Mode Selection System).
Terakhir, sistem ini harus dapat diintegrasikan dengan Pusat Kendali Sistem Operasi yang ada di Kohanudnas atau sekarang namanya menjadi Koopsudnas.
Airspace Review pada 9 April 2020 pernah menulis mengenai tiga pesawat AEW&C incaran TNI AU dalam MEF IV. Dituliskan bahwa TNI AU telah mengevaluasi tiga pesawat kategori AEW&C.
Mereka adalah Boeing 737 AEW&C (E-7A Wedgetail), Airbus C-295 AEW&C, dan terakhir Saab 2000 Erieye.
Pesawat AEW&C digunakan untuk mendeteksi keberadaan dan pergerakan pesawat, kapal, dan kendaraan lawan dalam jarak jauh.
Pesawat juga digunakan untuk melakukan komando dan kontrol ruang pertempuran dalam operasi udara dengan mengarahkan pesawat tempur ke sasaran yang telah dikunci.
Dari ketiga pesawat tersebut, Boeing E-7A adalah yang terbesar dan bermesin jet. Pesawat dibekali radar Northrop Grumman MESA (multirole electronic scanned array) yang dipasang di punggung belakang pesawat.
Radar ini mampu melakukan pencarian udara dan laut secara simultan, kontrol tempur dan pencarian area dengan jangkauan maksimum lebih dari 600 km (look-up mode).
Saat beroperasi dalam mode look-down terhadap target jet tempur lawan, jarak maksimumnya lebih dari 370 km.
Ketika digunakan melawan target maritim, jarak maksimumnya lebih dari 240 km untuk target ukuran sebesar kapal fregat.
Radar MESA ini mampu secara simultan melacak 180 target bersamaan dan melakukan 24 intersepsi sekaligus.
E-7A terbilang laku, saat ini telah opernasional oleh AU Australia, AU Turki, AU Korea Selatan dan AU Inggris. E-7A juga telah diminati oleh AU Italia, Uni Emirat Arab, dan Qatar.
Pesawat peringatan dini kedua adalah C-295 AEW&C garapan Airbus Defense and Space.
Pesawat dibekali kubah radar putar 360 derajat di punggungnya dengan mengusung radar AESA (active electronically scanned array) EL/W-2090 buatan IAI, Israel.
Selanjutnya pesawat ketiga buatan Saab dari Swedia di mana pihak Saab memberi kemudahan pelanggan untuk memilih platform pesawatnya sendiri.
Seperti AU Brazil yang menyandingkan Erieye dengan pesawat jet Embraer R-99 (E-145). Juga tersedia berbasis jet Bombardier Global 6000 yang dikenal sebagai GlobalEye.
Saab sendiri lebih menawarkan paket Erieye dengan pesawat bermesin turboprop Saab 340 atau Saab 2000 yang lebih besar buatannya.
Radar Erieye menyediakan cakupan 300 derajat dan memiliki jangkauan instrumental 450 km dan jangkauan deteksi 350 km dalam lingkungan peperangan elektronik yang padat.
Saat ini sistem Erieye telah digunakan oleh AU Swedia, AU Brazil, AU Yunani, AU Meksiko, AU Pakistan, AU Arab Saudi, AU Uni Emirat Arab, dan AU Thailand.
Kajian mengenai ketiga pesawat AEW&C tersebut telah disampaikan kepada Mabes TNI dan juga Kementerian Pertahanan yang akan menentukan pesawat mana yang akan dipilih.
Bisa juga Kementerian Pertahanan memiliki pertimbangan lain untuk mencari di luar dari ketiga pesawat yang telah disebutkan.
Pertimbangan selain masalah teknis, juga dari segi strategis dan kemampuan anggaran yang tersedia.
-RNS/RBS-
Buat ganti 737 surveiller ya yang sesuai dari jarak jangkau, kecepatan hanya E 7 wedgetail. Tambahan P 8 poseidon buat keamanan laut cakep deh
Duite akeh Ojo mencla mencle