AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Di masa mendatang, mungkin dalam hitungan lebih satu dekade ke depan, pesawat tempur Angkatan Udara AS (USAF) akan terbang ke suatu tujuan dengan ditemani oleh lima unit loyal wingman.
Loyal wingman tidak lain adalah kendaraan udara tak berawak yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan dan mampu membawa persenjataan (sebagai UCAV).
Drone canggih ini dapat terbang secara otonom maupun dikendalikan dari pesasat tempur berawak.
Sebagai loyal wingman, UCAV ini dapat memerankan beragam fungsi.
Fungsi tersebut seperti sebagai truk senjata, platform peperangan elektronik, wahana pengumpul intelijen, dan mungkin juga sebagai umpan.
Tidak ada kekhawatiran, sebab kendaraan tersebut tidak berawak.
Ini yang membedakan dengan jet tempur di mana ada pertimbangan soal keselamatan awaknya.
Program loyal wingman awalnya adalah program rahasia yang dikembangkan oleh USAF sebagai Collaborative Combat Aircraft (CCA), tulis The Drive.
Untuk mewujudkan hal itu, salah satu program yang sedang dijalankan oleh USAF dan Departemen Pertahanan AS Next Generation Air Dominance (NGAD).
Program ini mencakup rencana untuk mengembangkan pesawat tempur berawak maupun tidak berawak, senjata, sensor, jaringan dan sistem manajemen pertempuran, teknologi propulsi jet, dan banyak lagi.
Disebutkan, sebanyak lima unit loyal wingman yang menemani pesawat tempur berawak merupakan jumlah standar.
Timbul kekhawatian di kalangan pilot, di mana mereka harus mengendalikan semua loyal wingman-nya dan ini akan menguras konsentrasi.
“Hal terbesar yang (pilot) tidak inginkan adalah menambahkan tingkat manajemen informasi tambahan yang harus mereka tangani di kokpit,” kata Jason “Tex” Clark, pensiunan letnan kolonel dari USAF yang memimpin sistem misi otonom di Unit Bisnis Strategis Departemen 22 Raytheon Intelligence & Space.
Mewujudkan hal itu adalah salah satu upaya Departemen 22, yang diluncurkan pada Mei lalu untuk fokus pada teknologi militer generasi berikutnya yang berkembang pesat.
Tujuannya adalah untuk memperluas kesenjangan kemampuan atas musuh-musuh sejawat negara, kata perusahaan.
Selain itu untuk menciptakan sistem yang akan membuat pilot masa depan hanya membutuhkan tingkat upaya yang sama untuk berkomunikasi dengan drone seperti yang mereka lakukan saat ini, ujar Clark.
Sedikit mengenai Clark, ia adalah mantan instruktur perwira sistem senjata di F-111 Aardvark dan F-15E Strike Eagle, dan telah mengumpulkan lebih dari 2.500 jam terbang.
-Jaden-