AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Jet tempur Rafale buatan Dassault Perancis dan kebanggaan Negeri Eiffel, telah mengalami banyak pasang surut sepanjang perjalanannya.
Cacian awalnya justru datang kepada pesawat ini karena susah terjual ke negara lain. Rafale disebut pesawat terkutuk karena harganya yang mahal dibanding pesawat sekelasnya.
Namun itu dulu, kini Rafale justru menjadi jet tempur yang paling dicari di dunia. Negara-negara seakan berlomba untuk mendapatkan pesawat ini sampai rela mendapatkan pesawat bekas pakai Angkatan Udara dan Ruang Angkasa Perancis (AAE).
Dassault Aviation, produsen pesawat tempur Rafale, mencatat pemasukan pesanan yang luar biasa, mencapai €16,3 miliar (16,6 miliar USD) untuk paruh pertama tahun 2022 saja, khususnya dari penjualan Rafale.
Dassault Aviation mengejutkan pasar global pada tahun 2021 setelah Uni Emirat Arab memesan 80 pesawat ini.
Perusahaan mengatakan bahwa pada April 2022, mereka menerima uang muka pertama untuk pesawat tempur Rafale untuk UEA.
Yunani juga membeli enam Rafale baru di awal tahun 2022, setelah sebelumnya membeli 18 unit pesawat ini.
Dengan demikian, sebanyak 86 unit pesawat Rafale telah dipesan selama semester I tahun 2022. Backlog Rafale sendiri saat ini mencapai 165 unit.
Kontrak untuk 42 Rafale (6+36) juga ditandatangani dengan Indonesia. Namun, kontrak ini tidak akan diperhitungkan dalam backlog per 30 Juni 2022, karena tidak akan berlaku sampai uang muka pertama diterima.
Pabrikan Prancis telah menghadapi tantangan dengan rantai pasokannya yang menunda peningkatan produksi.
Menurut perusahaan, pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina telah memengaruhi bisnis, pemasok, dan pelanggannya.
“Dampak dari dua krisis besar ini menghasilkan ketidakpastian pada pasokan energi, komponen elektronik, dan bahan, yang mengarah pada peningkatan inflasi karena kekurangan nyata atau potensial ini dan melemahnya rantai pasokan, yang telah menjadi risiko besar, diperkuat oleh kenaikan output produksi kami,” tulis Dassault dalam siaran persnya.
Dulu, ketika Rafale sangat sulit terjual, seorang pejabat pemerintahan Perancis bahkan mengatakan bila pesawat ini terlalu canggih untuk diekspor tahun 2007.
Keterlibatan Rafale dalam Perang di Libya tahun 2011 dan bahkan menjadi bintang perang di sana, mulai melambungkan jet omnirole ini ke kancah internasional. Walaupun pesanan untuk Rafale tidak langsung diterima Perancis.
Gérard Longuet, Menteri Pertahanan Prancis saat itu, sampai memperingatkan Dassault pada Desember 2011 bahwa ia akan menghentikan produksi Rafale jika tidak menerima pesanan ekspor.
Rafale disebut tidak sesukses jet Mirage yang populer di tahun 1970-an.
Banyak negara, termasuk Oman dan Swiss, lebih memilih F-15K Slam Eagle, F-15SG Strike Eagle, F-16C/D, Gripen, dan Typhoon daripada Rafale.
Salah satu hambatan utama untuk prospek ekspornya adalah bahwa hal itu lebih mahal daripada pesaingnya di Amerika.
Rafale adalah salah satu jet tempur paling mahal di dunia, dengan biaya sekitar €100 juta, menurut sebuah studi 2011 oleh University of Toulon, dikutip The Eurasian Times.
Pesaingnya, termasuk jet Amerika, Gripen Swedia, dan Eurofighter, relatif ekonomis.
Prancis dikatakan telah menghabiskan lebih dari $50 miliar untuk pengembangan Rafale, jumlah yang signifikan untuk sebuah negara yang setiap tahun menghabiskan sekitar $60 miliar untuk pertahanan.
Namun semua perjuangan itu kini terbayar sudah ketika banyak negara seakan berebut untuk mendapatkan Rafale dan mengantri untuk membelinya.
Mereka bahkan mau membeli varian F-3R yang saat ini digunakan oleh AAE atau menunggu dengan sabar varian terbaru F4 yang akan diproduksi pertama kali untuk AAE.
-Jaden-