AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Korea Selatan pada akhir bulan Juli ini akan memperlihatkan kepada dunia bahwa Negeri Ginseng mampu membuat jet tempur generasi 4,5 KF-21 Boramae (Elang).
Baru pertama di dunia, jet tempur generasi 4,5 dengan fitur mendekati jet tempur siluman serta menggunakan radar AESA dibuat oleh Korea.
Sejauh ini, Korea Selatan telah mengimpor 40 jet F-35A Lightning II dari Amerika Serikat, namun tetap pada rencananya untuk memproduksi minimal 120 unit KF-21 guna menggantikan armada F-4D/E Phantom II dan F-5E/F Tiger II Angkatan Udara Republik Korea (RoKAF).
Ke depannya, jet KF-21 akan dikembangkan menjadi jet tempur generasi kelima di mana seluruh persenjataan akan ditempatkan di dalam badan pesawat.
Dengan ketekunan dan perencanaannya yang tidak berubah-ubah, Korea Selatan telah mewujudkan mimpinya tersebut.
Bukan pekerjaan mudah dan singkat, proyek ini digagas mulai bulan Maret 2001 saat Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung saat ini mengumumkannya di acara kelulusan Akademi Angkatan Udara Korea.
Ia mengatakan, Korea Selatan akan memproduksi jet tempur modern untuk menggantikan F-4 dan F-5.
Setahun kemudian, persyaratan penelitian dan pengembangan (R&D) pun mulai dirumuskan melalui Kepala Staf Gabungan.
Ambisius dan sempat diragukan
Sejumlah kalangan menilai, proyek ini sangat ambisius. Bahkan, Institut Analisis Pertahanan Korea (KIDA) yang merupakan bagian dari Kementerian Pertahanan Korea sempat meragukan kemampuan negara untuk menyelesaikan proyek KF-X saat itu.
Fase pengembangannya pun mengalami banyak penundaan di antara biaya ekonominya yang diperdebatkan.
Akan tetapi, proyek ini kemudian mendapatkan dukungan setelah studi kelayakan pada 2008 dan terjadinya serangan oleh Korea Utara pada 2010.
Reuters pada 23 November 2010 melaporkan, Korea Utara menembakkan puluhan senjata artileri ke Pualu Yeonpyeong di Korea Selatan. Serangan terparah sejak Perang Korea tahun 1953 itu menyebabkan empat orang tewas termasuk dua warga sipil.
Di sisi yang lain, Korea Selatan “diuntungkan” dengan memiliki tetangga yang sekaligus menjadi ancaman baginya, yaitu Korea Utara.
Tanpa “booster” ini sulit untuk memacu peningkatan dan alokasi anggaran pertahanan untuk akuisisi sistem persenjataa dan pengembangan industri pertahanan dalam negeri mereka.
Meskipun proyek tersebut mengandung risiko dan biaya per unit yang diharapkan akan jauh lebih tinggi daripada pembelian dari pabrikan asing, pengembangan industri pertahanan dalam negeri Korea Selatan dianggap sebagai sebuah kepentingan nasional dan memiliki efek riak pada industri teknologi tinggi.
Indonesia menjadi mitra pengembangan
Pada tanggal 15 Juli 2010, Korea menjalin kemitraan dengan Indonesia untuk proyek KF-X yang kemudian setelah Indonesia bergabung menjadi KF-X/IF-X.
Kementerian Pertahanan Indonesia setuju mendapatkan porsi 20% dari biaya pengembangan pesawat dengan menyertakan industri dalam negeri seperti PT Dirgantara Indonesia dan juga Tentara Nasional Indonesia sebagai calon penggunanya, dalam hal ini TNI AU.
Indonesia disebutkan akan membeli 48 unit IF-X (IF-21) untuk tiga skadron. Walaupun, dalam perkembangan kemudian tampaknya Jakarta lebih mengarahkan minatnya pada akuisisi jet tempur Rafale dari Perancis serta F-15EX Eagle II dari Amerika Serikat.
Di dalam negeri Korea Sendiri, pemerintahnya berkomitmen untuk 60% dari biaya pengembangan KF-X/IF-X, sementara 20% sisanya disediakan oleh perusahaan domestik dan asing.
Indonesia dan Korea Selatan meneken perjanjian kerja sama kesepakatan pembagian ongkos produksi jet tempur KFX/IFX pada 2014. Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Duta Besar Korea Selatan Cho Tai-young saat itu.
Perjanjian itu meliputi kerja sama rekayasa teknik dan pengembangan.
Dua tahun kemudian, 2016, pemerintah Indonesia melalui PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan Korea Aerospace Industries (KAI) meneken kesepakatan pembagian tugas. Pembuatan KF-X/IF-X pun mulai dilaksanakan di Korea Selatan.
Kesepakatan itu mengatur tentang porsi keterlibatan PTDI dalam program jet tempur terkait dengan desain, data teknis, spesifikasi, informasi kemampuan, pengembangan purwarupa, pembuatan komponen, serta pengujian dan sertifikasi.
KAI memenangkan tawaran produksi KFX/IF-X yang selanjutnya bermitra dengan Lockheed Martin untuk dukungan teknologinya. Indonesia tetap terlibat dengan pengiriman insinyur dan juga pilot-pilot dari TNI AU.
Kontrak tersebut membentuk rencana pengiriman pesawat yang akan dimulai pada tahun 2026.
Mirip F-22
Terkait kerja sama dengan Lockheed Martin untuk dukungan teknologi KF-X/IFX, publik menilai hal ini mungkin ada kaitannya dengan desain KF/X-IFX yang kemudian diresmikan menjadi KF-21 Boramae oleh Presiden Korea Selatan Moon Jae-in pada 9 April 2021.
Pada saat peluncuran (Roll-Out) KF-21 di Kantor Pusat KAI in Sacheon, 440 km selatan Seoul, turut hadir Menteri Pertahanan Republik Indonesia Prabowo Subianto.
Apakah mengenai kemiripan wujud pesawat KF-21 dengan F-22 Raptor karena peran besar dari Lockheed Martin?
Tidak bisa dikatakan demikian juga karena dari awal perancangan desain justru lebih banyak dilakukan oleh Korea Selatan dan Indonesia sebagai mitra.
Perbedaan dimensi
Menarik untuk sedikit membandingkan KF-21 dengan F-22, terdapat sedikit perbedaan dimensi dari keduanya.
Untuk varian kursi tunggal, KF-21 memiliki panjang 16,9 m, sedangkan F-22 18,92 m.
Kemudian untuk rentang sayap KF-21 adalah 11, 2 m, sedangkan F-22 13,56 m. Terdapat kurang lebih perbedaan dimensi 2 meter baik untuk panjang pesawat maupun rentang sayap.
Sementara untuk tinggi KF-21 adalah 4,7 m, sementara F-22 5,08 m. Terdapat perbedaan kurang lebih satu meter.
Untuk berat lepas landas (MTOW) KF-21 adalah 25,4 ton, sedangkan untuk F-22 38 ton. Terdapat perbedaan yang cukup jauh, yaitu 12,4 ton.
KF-21 menggunakan dua mesin General Electric F414-GE-400K afterburning turbofan, sementara F-22 menggunakan dua mesin Pratt & Whitney F119-PW-100 afterburning turbofan.
Kecepatan terbang maksimum KF-21 di angka Mach 1,8 sementara F-22 di angka Mach 2,25.
Harapan ke depan
Mengenai berapa banyak Indonesia akan mengakuisisi jet KF-21 Boramae ke depannya, tentu saja hal ini berkaitan dengan alokasi anggaran untuk pembelian alutsista termasuk pesawat tempur.
Jangankan untuk membeli KF-21, sementara untuk membeli Rafale dan F-15EX (F-15IDN) yang masing-masing dicanangkan sebanyak 42 unit dan 36 unit itu saja masih dalam bayang-bayang hingga saat ini.
Keinginan ada, namun dukungan anggaran yang realistis dan faktual dari Kementerian Keuangan RI adalah kuncinya.
Seberapa besar keuntungan Indonesia dalam proyek ini dari sisi serapan pengembangan teknologi dan kerjasamanya dengan Indonesia? Tentu pemerintah RI sendiri yang tahu karena sebagai pemimpin dari program ini dari sisi Indonesia.
Bila menguntungkan, sepantasnya dilanjutkan dengan dukungan penuh.
Namun bila tidak, kehadiran Indonesia di Korea Selatan pun dapat diartikan sebagai kehadiran dan dukungan yang semu, di mana hati dan keinginannya tidak ada di sana.
Mari dari jarak jauh kita sambut terbang perdana KF-21 Boramae yang akan segera dilakukan dalam beberapa hari ke depan, sambil menyaksikan bendera Merah Putih tertera di bagian samping depan pesawat tersebut bersanding dengan bendera Korea Selatan.
-RNS-