AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Pada bulan Januari 1960 dalam pidatonya di depan Supreme Soviet (Badan Legislatif USSR), Nikita Khrushchev sesumbar mengumumkan bahwa Uni Soviet telah menjadi negara adidaya karena telah berhasil membuat senjata yang tidak pernah ada sebelumnya di dunia.
Senjata ini dapat dengan mudah menyapu sebuah negara atau beberapa negara dan melenyapkannya dari muka Bumi.
“Uni Soviet, sekarang adalah pemimpin dunia dalam bidang militer!” ujar Khrushchev lantang.
“Angkatan Bersenjata Soviet kini memiliki mesin perang yang belum pernah ada sebelumnya. (Senjata ini) Cukup untuk menyapu satu negara atau negara-negara yang berani melawan kita dari muka Bumi,” lanjutnya.
Pada saat pernyataan Krushchev disiarkan ke seluruh dunia, belum ada penggunaan senjata pemusnah massal dalam perang oleh Uni Soviet. Tidak seperti Amerika Serikat yang telah menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.
Atas pernyataan Khrushchev, Badan Intelijen Pusat (CIA) sempat meragukannya dan menganggapnya sebagai sebuah omong besar.
Berselang 22 bulan kemudian, tepatnya pada 30 Oktober 1961 di sekitar Teluk Mityushikha, senjata seberat 27 ton yang disebut-sebut oleh Krushchev itu, dilepaskan dari udara menggunakan pesawat pengebom strategis Tu-95V yang dimodifikasi secara khusus.
Tidak lain, itu adalah bom nuklir dengan kekuatan 1.400 kali kekuatan bom atom yang dijatuhkan AS di Jepang untuk mengakhiri Perang Dunia II.
Bom dijatuhkan di Pulau Novaya Zemlya, Laut Arktik pada pukul 11.32 waktu setempat.
Bom nuklir itu dirancang meledak pada ketinggian 4 km dari permukaan tanah atau 4,2 km dari permukaan air laut menggunakan sistem sensor barometrik.
Ketinggian “Jamur Api” yang dihasilkan oleh ledakan bom nuklir tersebut mencapai 64 km (210.000 kaki). Ionisasi dari ledakannya menyebabkan gangguan komunikasi radio selama berjam-jam.
Itulah “Tsar Bomba” atau “Big Ivan” analis Barat menyebutnya. Ivan merupakan kode sebutan dari pengembangan bom ini yang dilakukan Uni Soviet hanya dalam 15 minggu.
Daya ledak Tsar Bomba mencapai 50 Megaton TNT, secara lebih spesifik berkisar antara 1.350-1.750 kali dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Itu pun merupakan hasil pengurangan kekuatan, karena awalnya Big Ivan dirancang memiliki daya ledak sebesar 100 Megaton TNT, tetapi kemudian dibatalkan karena berdampak luas bagi atmosfer. Perhitungan lainnya, efek ledakan bom hidrogen itu bisa berbalik ke arah Soviet.
Sedangkan akibat ledakan yang kuat dari Tsar Bomba yang hanya 50 Megaton TNT saja, semua bangunan di Desa Severny yang terletak pada jarak 55 km dari lokasi ujicoba ikut hancur.
Seorang partisipan yang menyaksikan uji coba bom nuklir itu melihat cahaya yang sangat cerah, meskipun dia sudah menggunakan kaca mata hitam dan merasakan efek gelombang panas hingga jarak 270 km.
Sebuah gelombang kejut terasa hingga jarak 7.000 km. Panel kaca pecah hingga jarak 900 km, termasuk jendela kaca di Norwegia dan Finlandia.
Gelombang seismiknya mencapai 5-5,25 Skala Richter. Ledakan ini terasa hingga jarak 10.000 km dari pusat ledakan.
Uji coba Tsar Bomba menuai kecaman dari pihak internasional. Kementrian Luar Negeri Inggris menyatakan bahwa 87 negara menuntut para pemimpin Soviet bertanggung jawab atas uji coba bom nuklir itu.
Tsar Bomba sendiri tidak pernah digunakan Soviet dalam perang.
Ancaman baru Sarmat
Lepas 62 tahun setelah pidato Nikita Khrushchev mengenai senjata nuklir Tsar Bomba, terjadi krisis besar antara Rusia (penerus utama Soviet) dengan Ukraina, negara pecahan Uni Soviet yang tidak sejalan dengan kebijakan Rusia.
Krisis yang berujung terjadinya peperangan besar sejak 24 Februari 2022 di kota-kota Ukraina itu, telah menyeret NATO, Amerika Serikat, dan Uni Eropa bersiaga dan memberikan bantuan peralatan militer kepada Ukraina.
Perang yang meletus akibat agresi militer Rusia ke Ukraina ini menyebabkan kerusakan yang sangat parah di Ukraina, berakibat jutaan warga sipil Ukraina mengungsi ke negara-negara tetangga.
Faktor rencana bergabungnya Ukraina pada aliansi NATO, menyebabkan Presiden Rusia Vladimir Putin murka karena peringatannya diabaikan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Rusia sendiri mengalami kehancuran pasukan yang cukup besar setelah kolom-kolom kendaraan militernya menjadi sasaran empuk sengatan rudal-rudal dan senjata antitank yang diluncurkan tentara Ukraina, maupun oleh rudal-rudal yang dilepaskan drone dari udara.
Sementara itu, helikopter dan jet-jet tempur canggih Rusia pun tak lepas menjadi tumbal keganasan dan kegigihan pasukan Ukraina, baik menggunakan rudal MANPADS maupun sistem senjata pertahanan udara yang lebih besar.
Rusia memperlihatkan taktik perang yang buruk dalam agresinya ke Ukraina. Target awal dua hari dapat melumpuhkan ibu kota Kyiv ternyata hanya khayalan saja. Karena, dua bulan perang berlangsung, Kyiv masih berdiri kokoh dan tak bisa ditembus pasukan Rusia.
Bahkan di Kyiv, Zelensky dengan leluasa bisa berjalan kaki menelusuri trotoar dan menerima kedatangan para pemimpin dunia yang mendukungnya.
Meski demikian, sejumlah kota di Ukraina berhasil kuasai oleh pasukan Rusia.
Persoalan yang menjadi akar peperangan antara Rusia dan Ukraina memang sangat kompleks dan tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja. Kita dituntut dapat melihatnya dalam posisi netral, tidak pro ke salah satu negara atau kubu.
Peperangan yang terjadi, sejatinya adalah merupakan tantangan bagi negara-negara pemimpin di dunia untuk bersikap adil dan bijak mencari solusi perdamaian.
Yang terjadi, AS dan negara-negara sekutu malah terlihat semakin “mengobarkan peperangan” dengan menyuplai persenjataan-persenjataan yang dibutuhkan oleh Ukraina. Bisa jadi, anggapan ini pun dapat dinilai sebagai pro kepada Rusia –namun dengan menyokong persenjataan kepada Ukraina, sama artinya dengan membiarkan kedua negara, Ukraina dan Rusia, untuk bertempur sampai titik darah penghabisan dan rakyat sipil pula yang menanggung akibatnya.
Dari sisi perang informasi, Ukraina unggul dan berhasil membuktikan kepada dunia bahwa negaranya yang lebih kecil, dengan kekuatan yang lebih minim dari Rusia, mampu mempermaulkan Rusia di mata dunia.
Secara simbolik, Kyiv telah berhasil mempecundangi Angkatan Laut Rusia yang digembar-gemborkan hebat, hanya dengan menenggelamkan kapal perang utama Rusia dari Armada Laut Hitam, yakni kapal penjelajah Moskva, ke dasar laut.
Kemarahan Putin terhadap negara-negara yang memberikan bantuan peralatan perang kepada Ukraina, telah ia sampaikan dalam bentuk ancaman. Bahwa bagi negara-negara yang ikut campur dalam perang ini, dengan memberikan bantuan militer kepada Ukraina, akan menerima konsekuensi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Putin memerintahkan pasukan rudal strategis untuk bersiaga penuh. Ini adalah bentuk ancaman atau peringatan serius bagi negara-negara pendukung Ukraina.
CIA pun mengingatkan, Putin bisa bertindak kejam. Namun, sejalan dengan itu, peringatan dari mantan agen KGB itu sepertinya tak begitu dihiraukan.
Psikolog Barat mengatakan, dalam keadaan terdesak, Putin adalah sosok yang bisa bertindak semaunya. Hal ini semestinya menjadi perhatian dunia untuk mencegah perang menjadi lebih besar dan melebar. Sebab, Rusia punya kekuatan nuklir yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia.
Rusia pada 20 April lalu, kembali melakukan uji coba peluncuran rudal balistik antarbenua (ICBM) RS-28 Sarmat yang mampu menyerang kota dalam jarak hingga 11.000 mil (18.000 km) jauhnya.
Rudal yang dijuluki Satan 2 (Setan 2) ini mampu meluncur dengan kecepatan lebih dari Mach 20 sambil membawa 10-15 hulu ledak nuklir MIRV yang dapat melenyapkan sebuah kota atau beberapa kota.
Atas perintah Presiden Putin, Pasukan Rudal Strategis Federasi Rusia atau RVSN (Raketnye Voyska Strategicheskogo Naznacheniya Rossiyskoy Federatsii) kini bersiap siaga untuk suatu saat meluncurkan senjata pamungkas ini.
Sebanyak 50.000 orang berdinas untuk RSVN yang telah didirikan pada 17 Desember 1959 semasa Uni Soviet itu.
RSVN sepenuhnya akan patuh pada perintah Putin. Yang mengerikan, bila ICBM nuklir ini diluncurkan, maka kengerian bom atom yang dijatuhkan AS di dua kota di Jepang akan terulang.
“After us, only silence”. Setelah kami, hanyalah kesunyian. Itulah motto RVSN.
Apakah dunia akan membiarkan kesunyian itu terjadi?
Langkah yang paling tepat adalah para pemimpin dunia mendamaikan peperangan Rusia dengan Ukraina dengan segenap upaya tanpa henti.
Bukan malah menyiramkan bensin ke api yang sedang berkobar.
Kecuali, bila perang memang diharapkan, diciptakan, dan atau dipertahankan oleh pihak-pihak tertentu demi mengejar kemakmuran industri persenjataan.
-RNS-