AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Tak terasa waktu begitu cepat bergulir, tepat tanggal 9 April 2022 lalu, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI Angkatan Udara atau TNI AU) genap memasuki usianya yang ke-76 tahun.
Dari sejak kelahirannya hingga saat ini, berbagai pengembangan kekuatan dan organisasi dijalankan oleh TNI Angkatan Udara dengan dukungan dari Markas Besar TNI serta Kementerian Pertahanan Republik Indonesia demi mewujudkan cita-cita luhur dan tugas pokoknya sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional.
Menarik untuk dicermati, pada umur yang dapat dikatakan sudah matang ini bagaimanakah kekuatan yang dimiliki TNI Angkatan Udara di kawasan sekitarnya?
Terkuat di belahan Selatan
Sedikit bernostalgia, di era 1960-an alat utama sistem senjata (alutsista) TNI Angkatan Udara menjadi yang terkuat di belahan Selatan yang membuatnya cukup disegani di kawasan.
TNI Angkatan Udara yang kala itu bernama AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) diperkuat dengan beragam alutsista tercanggih pada masanya. Sebut misalnya deretan jet tempur dari Blok Timur seperti MiG-15 (30 unit), MiG-17 (49 unit), MiG-19 (10 unit), MiG-21 (20 unit), dan lebih dua lusin pengebom strategis Tu-16 Badger.
Tak ketinggalan, dari Blok Barat TNI Angkatan Udara juga mendapatkan sepuluh pesawat angkut C-130B Hercules di mana Indonesia mendapat keistimewaan sebagai pengguna pertama di luar Amerika Serikat.
Dengan kekuatan udara (air power) yang besar tersebut, terbukti Indonesia dapat mempertahankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari rongrongan asing.
Sayang, era kejayaan yang pernah disandang oleh AURI tersebut perlahan meredup seiring bergesernya peta perpolitikan negara pasca pemberontakan G30S di tahun 1965. Puncaknya di awal 1970-an ketika banyak alutsista TNI Angkatan Udara yang tak lagi operasional karena tak mendapatkan suku cadang dari sumbernya.
Selama satu dekade hingga tahun 1980-an, TNI Angkatan Udara pun mencari kekuatan udara yang sifatnya interim, paling tidak masih memiliki kekuatan untuk bertempur melawan musuh. Akhirnya diperoleh 23 unit pesawat tempur F-86 Avon Sabre buatan Australia untuk mengisi era transisi menuju alutsista yang lebih modern.
Pengadaan melalui program Garuda Bangkit tersebut, adalah menghadirkan jet tempur kursi tunggal F-86 yang namanya melambung dalam Perang Korea (1950-1953) usai mengalahkan MiG-15 Uni Soviet.
Perkembangan berikutnya, Jakarta mulai mengganti pesawat-pesawat tempur TNI Angkatan Udara yang diperoleh dari Blok Timur dengan produk Blok Barat. Kekuatan pun berangsur pulih dengan hadirnya jet tempur modern seperti F-5 Tiger II dan A-4 Skyhawk buatan Amerika Serikat di tahun 1980-an.
Memasuki dasawarsa 1990-an, TNI Angkatan Udara kembali diperkuat dengan jet tempur modern pada masanya yakni Hawk 100/200 dari Inggris dan F-16 Fighting Falcon dari Amerika Serikat.
Di tahun 1996, Jakarta juga menandatangani kontrak pembelian jet tempur Su-27/30 dari Rusia, meskipun akhirnya batal akibat krisis moneter yang menerjang Indonesia tahun 1997. Pembelian pesawat ini baru direalisasikan tahun 2003 dengan membeli empat unit sebagai tahap awal.
Perlahan namun pasti, pengadaan jet tempur Sukhoi dari Rusia kembali dilanjutkan hingga kini TNI Angkatan Udara mengoperasikan dua skadron jet Su-27/30.
Kecanggihan teknologi dan gejolak LCS
Keberadaan pesawat F-16 dan Su-27/30 di TNI AU menjadi kekuatan tersendiri di mana Indonesia memiliki dua tipe jet tempur garis depan buatan Blok Barat dan Blok Timur, yakni jet tempur multiperan mesin tunggal dan mesin ganda.
Dua skadron F-16 dan dua Skadron Su-27, dilengkapi dengan dua skadron pesawat Hawk 100/200, serta satu skadron jet latih/tempur ringan T-50i, menjadikan kekuatan TNI Angkatan Udara meningkat lagi.
Namun demikian, khusus mengenai jet tempur ini, masih ada tantangan di mana TNI Angkatan Udara perlu dilengkapi dengan pesawat tempur generasi 4,5 mengingat pesawat-pesawat yang dimiliki tersebut merupakan generasi ke-4.
Perlu diketahui bersama, bahwa kecanggihan teknologi memungkinkan pesawat dengan generasi yang lebih mutakhir mampu mendeteksi kehadiran pesawat musuh dari jarak yang lebih jauh dan melumpuhkan pesawat musuh dari jarak yang lebih jauh pula. Dan, menjadi pertimbangan stategis juga mengingat negara-negara di kawasan sudah menggunakan jet tempur generasi 4,5 dan bahkan mulai beranjak ke penggunaan jet tempur generasi 5.
Angkatan Udara Republik Singapura (RSAF) misalnya, telah mengopersaikan jet tempur F-15SG (Gen-4,5) dan mengakuisisi satu skadron F-35B Lightning II (Gen-5). Juga tetangga di Tenggara Indonesia, yakni Australia di mana angkatan udara mereka (RAAF) telah mengoperasikan 48 unit F-35A dari 72 unit yang dipesan.
Di sisi yang lain, kondisi di lingkungan sekitar Indonesia juga tak dimungkiri semakin memanas dengan terjadinya saling klaim kepemilikian terkait batas-batas perairan Laut Cina Selatan (LCS). Cina sebagai negara pengklaim keseluruhan LCS semakin gencar meningkatkan kehadiran kekuatan militernya di perairan yang sangat kaya sumber daya alamnya tersebut. Sementara Amerika Serikat di lain pihak, juga tak tinggal diam. Washingtaon menghadirkan armada kapal-kapal induk beserta kekuatan tempurnya ke LCS atas dasar “operasi kebebasan bernavigasi”.
Diketahui sejak 2014, di wilayah LCS Cina telah membangun pangkalan militer di Fiery Cross Reef, yang hanya ‘sepelemparan batu’ dari Kepulaan Natuna, Indonesia atau sekitar 700 km jauhnya.
Di pangkalan militer yang dibangun di atas gugusan pulau karang tersebut, terdapat landasan pacu sepanjang 3,3 km yang dapat didarati beragam jet tempur modern Cina, seperti JH-7, J-15, termasuk jet siluman generasi ke-5 yaitu J-20 hingga pengebom strategis versi terakhir mereka H-6K.
Di kawasan Pasifik, pada awal Maret 2022 Negeri Naga Menggeliat ini juga tengah membuat pakta kerja sama keamanan dengan Kepulauan Solomon. Langkah Cina ini membuat gerah Australia dan Amerika Serikat yang juga mempunyai kepentingan politik di kawasan negara-negara Pasifik.
Memandang fakta di atas, kiranya sangat diperlukan kehadiran kekuatan pemukul yang tangguh untuk TNI Angkatan Udara agar memiliki daya tangkal dan daya gentar yang tinggi menghadapi semua potensi ancaman dan kemungkinan-kemugnkinan yang akan terjadi. Caranya, adalah dengan memodernisasi alutsista termasuk pesawat-pesawat tempur yang perlu ditingkatkan generasinya. Hal ini untuk mengimbangi kekuatan negara-negara lain agar TNI Angkatan Udara mampu berada dalam tataran kekuatan yang disegani di kawasan.
TNI Angkatan Udara sendiri telah mengambil langkah strategis dengan melakukan peremajaan dan peningkatan kapabilitas pesawat F-16 generasi awal melalui program Falcon STAR dan eMLU (enhanced Mid Life Update) sejak awal tahun 2020.
Program ini menghasilkan penambahan umur pakai pesawat hingga 8.000 jam terbang atau setara dengan masa penggunaan untuk 30 tahun ke depan. Selain itu, peningkatan kemampuan tempur F-16A/B menjadikan pesawat-pesawat ini mampu membawa persenjataan-persenjataan yang lebih modern.
Yang membanggakan, program peningkatan F-16A/B ini dilakukan di Tanah Air, tepatnya di Lanud Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur oleh para personel teknik TNI Angkatan Udara. Dalam proyek ini TNI Angkatan Udara menggandeng PT Dirgantara Indonesia (PTDI) untuk pengerjaan keseluruhan program dengan pengawasan dilakukan oleh tim dari Lockheed Martin, Amerika Serikat.
MEF dan Renstra TNI AU 2020-2024
Bagi TNI Angkatan Udara memiliki kekuatan udara yang kuat adalah mutlak, karena harus menjaga wilayah udara yang sangat luas, yang membentang dari Sabang hingga Merauke di atas luas daratan dan perairan yang mencapai 8,23 juta km2.
Jauh hari di masa lalu, Presiden RI pertama Soekarno pernah menyampaikan dalam sebuah pidatonya pada bulan April 1955. Proklamator Kemerdekaan RI itu mengatakan, “Kuasai udara untuk melakukan kehendak nasional, karena kekuatan udara nasional di udara adalah faktor yang menentukan perang modern.”
Ungkapan Presiden Soekarno 67 tahun silam tersebut mengisyaratkan, bahwa perang di masa depan (artinya masa kini dan seterusnya) tidak bisa lepas dari kekuatan udara. Air supremacy menjadi faktor penentu dalam memenangkan perang. Namun, hal ini tentunya tetap diperlukan kesinambungan kerja sama antarmatra TNI lainnya sesuai dengan doktrin TNI, yaitu Trimatra Terpadu.
Untuk “Mewujudkan TNI Angkatan Udara Menjadi Angkatan Udara yang Disegani di Kawasan” sebagaimana dicanangkan oleh Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, S.E., M.P.P., tentunya TNI Angkatan Udara perlu dimodernisasi alutsistanya termasuk dalam hal ini pesawat-pesawat tempur yang dimiliki.
Jangan dilupakan juga peran pesawat tanpa awak atau drone yang bersenjata (UCAV) di mana kehadirannya telah kita ketahui bersama dalam berbagai peperangan modern mampu melumpuhkan sistem-sistem persenjataan di darat.
Alutsista esensial lainnya yang juga harus dimiliki di antaranya adalah sistem pertahanan udara berupa rudal-rudal permukaan ke udara (SAM) jarak menengah-jauh, radar pengawasan dan pemandu pertempuran udara (GCI), pesawat peringatan dini dan kontrol udara (AWACS), hingga pesawat tanker. Selengkapnya TNI Angkatan Udara telah menyampaikan beragam spesifikasi teknis kebutuhan alutsista tersebut untuk diselaraskan dengan kebutuhan operasional di tingkat Mabes TNI dan kemudian disampaikan kepada Kementerian Pertahanan.
Upaya untuk menggantikan jet tempur tersebut sudah direncanakan dengan matang melalui Program MEF (Minimum Essential Force) TNI dan Rencana Strategis (Renstra) TNI Angkatan Udara Tahap III periode 2020-2024.
TNI Angkatan Udara dalam paparan Renstranya telah menargetkan bisa memiliki 344 unit pesawat termasuk pesawat tempur, 32 unit radar, 72 rudal, dan 64 unit penangkis serangan udara.
Upaya gencar Kementerian Pertahanan
Kementerian Pertahanan RI mendukung upaya untuk mewujudkan TNI Angkatan Udara menjadi angkatan udara yang disegani di kawasan. Terbukti, langkah ini direalisasikan melalui pembelian jet tempur modern Generasi 4,5 yakni Rafale dari Prancis dan selanjutnya F-15IDN dari Amerika Serikat.
Penandatanganan kontrak pembelian enam unit Rafale dengan opsi tambahan 36 unit telah dilakukan di Jakarta pada 10 Februari 2022 oleh pihak Kementerian Pertahanan RI dengan Dassault Aviation. Penandatanganan kontrak disaksikan langsung oleh Menhan RI Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Perancis Florence Parly.
Pengiriman enam pesawat Rafale F3 gelombang pertama dari Prancis, dijadwalkan akan dilaksanakan pada 2026. Setelah itu, kemungkinan dilanjutkan dengan pengiriman seri F4 atau tetap F3. Baik F3 maupun F4, pada dasarnya merupakan seri mutakhir dari pesawat tempur omnirole yang kini laris dibeli oleh banyak negara ini.
Selanjutnya jet tempur kedua yang diincar oleh Kementerian Pertahanan RI adalah F-15EX buatan Boeing, Amerika Serikat. Departemen Luar Negeri dan Kongres AS telah memberikan izin kepada Jakarta untuk mengakuisisi 36 jet tempur supercanggih ini dan memberinya kode khusus F-15IDN untuk Indonesia.
Tidak mudah mendapatkan izin memiliki jet tempur canggih keluarga F-15, khususnya pesawat dengan seri termutakhir yang akan digunakan oleh Angkatan Udara AS (USAF). F-15EX sendiri awalnya dibuat atas permintaan khusus dari USAF, namun kemudian memunculkan banyak peminat termasuk Indonesia. Bila dukungan keuangan dari pemerintah terpenuhi, rencananya pesawat ini akan didatangkan ke Tanah Air sebelum tahun 2030.
Persetujuan pembelian jet F-15IDN oleh Indonesia ini telah dituangkan dalam pemberitaan resmi pada Februari 2022 di laman Badan Kerja Sama Pertahanan Keamanan (DSCA), bagian dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon).
Selain dua jet tempur modern yang telah disebutkan, masih ada jet tempur generasi 4,5 lainnya yang akan memperkuat TNI Angkatan Udara yaitu KF-21 Boramae dari Korea Selatan. Jet tempur ini merupakan hasil kolaborasi antara Korea Selatan dan Indonesia, yang pengembangannya dikenal sebagai program KF-X/IF-X.
Jika tak ada perubahan, Indonesia akan menadapatkan sebanyak 50 unit KF-21 yang produksi perakitannya akan dilakukan di PTDI. Jumlah ini dapat membentuk tiga skadron tempur masing-masing berisikan 16 pesawat.
Saat ini KF-21 sendiri tengah menantikan penerbangan perdananya, antara bulan Juni-Juli 2022. Jika berjalan lancar akan dilanjutkan dengan beragam uji untuk mendapatkan sertifikasi.
Diproyeksikan, produksi awal KF-21 dapat dilakukan tahun 2026 di mana pesawat akan digunakan pertama kali untuk Angkatan Udara Korea Selatan (RoKAF). Setelah itu dilanjutkan produksi untuk Indonesia dan untuk ekspor ke negara lainnya.
Darah baru bagi TNI AU
Dengan kehadiran tiga jenis jet tempur canggih Rafale, F-15IDN, dan KF-21 tentunya akan memberikan semacam darah baru bagi armada pemukul garis depan TNI Angkatan Udara. Apalagi bila jumlahnya terpenuhi lengkap seperti yang direncanakan. Pastinya akan menjadi alat penggentar yang sangat diperhitungkan lawan di kawasan, sehingga TNI Angkatan Udara kembali disegani seperti pada era 1960-an.
Menyongsong kehadiran elang-elang penempur barunya tersebut, TNI Angkatan Udara pun menyiapkan infrastruktur termasuk penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM)-nya. Kasau mengatakan, penyiapan SDM tidak kalah pentingnya karena setinggi apapun teknologi yang dimiliki tetap akan kembali ke manusianya.
Hal itu disampaikan Kasau dalam berbagai kesempatan termasuk dalam Seminar Internasional Air Power “Pembangunan Kekuatan Udara Nasional untuk Menghadapi Ancaman pada Era Perang Generasi Kelima” di Jakarta pada 30 Maret lalu.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Kasau telah mencanangkan program-program dalam rangka mendukung peningkatan SDM TNI Angkatan Udara semakin baik, salah satu upayanya melalui penyelenggaraan pendidikan.
“Saya menuntut prajurit TNI Angkatan Udara untuk siap mengikuti program pendidikan, karena hal tersebut menjadi salah satu tolak ukur peningkatan kualitas SDM,” kata Kasau.
Kehadiran alutsista-alutsista canggih dipadukan dengan kualitas SDM TNI Angkatan Udara yang tinggi, inilah kunci utama untuk menjadikan TNI Angkatan Udara sebagai angkatan udara yang disegani di kawasan.
Program yang dicanangkan Kasau Marsekal Fadjar dengan dukungan penuh dari pemerintah dan segenap bangsa Indonesia, tentunya akan mengantarkan TNI Angkatan Udara pada cita-cita luhurnya, menjaga kedaulatan wilayah udara nasional sebagai Swa Bhuwana Paksa, Sayap Tanah Air. Mari kita doakan dan dukung bersama!
Rangga Baswara Sawiyya
Jangan lupa Indonesia juga butuh pesawat pengintai AEW macam SAAB Erieye untuk menjadi mata telinga pengintai di udara,minim kita harus punya dua unit yang siap bertugas dan satu unit sebagai cadangan serta sistem arhanud canggih macam patriot atau S 400 sebagai payung udara