AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Satu persatu kontrak pembelian pesawat terbang untuk TNI Angkatan Udara telah dilakukan oleh Kementerian Pertahanan RI dengan para produsennya. Mulai dari pesawat angkut, tanker, pesawat latih, pesawat tempur hingga helikopter.
Nah, hingga saat ini, satu jenis pesawat yang belum diputuskan adalah versi AEW&C (Airborne Early Warning & Control System).
Pesawat AEW&C ini digunakan untuk mendeteksi keberadaan dan pergerakan pesawat, kapal, dan kendaraan lawan dalam jarak jauh.
Kemudian pesawat melakukan komando dan kontrol ruang pertempuran dalam operasi udara dengan mengarahkan pesawat tempur ke sasaran yang telah dideteksi.
Diketahui, TNI AU sendiri telah mempertimbangkan tiga kandidat pesawat AEW&C dalam Rensta (Rencana Strategis) TNI AU MEF IV (Minimum Essential Forces ke-4) tahun 2020-2024.
Ketiga pesawat tersebut adalah Saab 2000 Erieye dari Swedia, C295 AEW&C buatan Airbus DS, dan Boeing B737 AEW&C (E-7A Wedgetail) dari Amerika Serikat.
Pilihan atas ketiga pesawat dari pabrikan besar dunia ini disampaikan langsung oleh KSAU yang saat itu dijabat oleh Marsekal TNI Yuyu Sutisna kepada wartawan di Ruang VIP Lanud Adisutjipto, Yogyakarta pada 19 Maret 2019.
Dari ketiganya, Boeing E-7A adalah yang terbesar dan bermesin jet. Pesawat dibekali radar Northrop Grumman MESA (multirole electronic scanned array) yang dipasang di punggung belakang pesawat.
Radar ini mampu melakukan pencarian udara dan laut secara simultan, kontrol tempur dan pencarian area dengan jangkauan maksimum lebih dari 600 km (look-up mode).
Saat beroperasi dalam mode look-down terhadap target jet tempur lawan, jarak maksimumnya lebih dari 370 km.
Ketika digunakan melawan target maritim, jarak maksimumnya lebih dari 240 km untuk target ukuran sebesar kapal fregat.
Hebatnya radar MESA ini mampu secara simultan melacak 180 target bersamaan dan melakukan 24 intersepsi sekaligus.
Pesawat E-7A sendiri terbilang laku, saat ini telah dioperasikan oleh AU Australia (RAAF), AU Turki (TAF), AU Korea Selatan (RoKAF) dan AU Inggris (RAF).
E-7A juga telah diminati oleh AU Italia (ItAF), AU Uni Emirat Arab (UAEAF) dan Qatar (QEAF).
Pesawat peringatan dini kedua adalah C295 AEW&C garapan Airbus DS yang dibekali kubah radar putar 360 derajat di punggungnya. Mengusung radar AESA (active electronically scanned array) EL/W-2090 buatan IAI, Israel.
Saat ini C295 AEW&C sendiri masih gencar ditawarkan oleh Airbus Defence and Space, namun belum mendapatkan pelanggan.
Selanjutnya pesawat ketiga buatan Saab Defense Systems dari Swedia di mana pihak Saab memberi kemudahan pelanggan untuk memilih platform pesawatnya sendiri.
Seperti AU Brazil yang menyandingkan Erieye dengan pesawat jet Embraer R-99 (E-145). Juga tersedia berbasis jet Bombardier Global 6000 yang dikenal sebagai Globaleye.
Saab sendiri lebih menawarkan paket Erieye yang disandingkan dengan pesawat bermesin turboprop Saab 340 atau Saab 2000 buatannya.
Radar Erieye menyediakan cakupan 300 derajat dan memiliki jangkauan instrumental 450 km dan jangkauan deteksi 350 km dalam lingkungan peperangan elektronik yang padat.
Saat ini sistem Erieye telah digunakan oleh AU Swedia, AU Brazil, AU Yunani, AU Meksiko, AU Pakistan, AU Arab Saudi, AU Uni Emirat Arab, dan AU Thailand.
Lalu pesawat AEW&C mana yang akan menjadi pilihan TNI AU? Tentunya sudah ada pertimbangan strategis, baik dari kemampuan maupun anggaran yang tersedia.
Mari kita nantikan bersama, apapun pilihannya tentunya pesawat AEW&C ini akan menjadi daya gentar baru TNI AU di kawasan.
-RBS-