AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Drone terbaru Rusia, Orion, berhasil menghancurkan sasaran yang dituju yaitu kelompok pemberontak militan di Suriah. Penembakan dari udara itu disiarkan oleh saluran televisi Rusia-1.
Dengan melaksanakan penembakan yang akurat itu, drone Orion telah berhasil membuktikan kemampuannya di medan perang. Rusia-1 melaporkan, drone Orion melaksanakan 17 kali serangan rudal dan bom.
Pada badan drone itu terlihat 38 tanda bintang serta huruf “B” dan “R” yang menandai “Pengeboman” dan “Pengintaian”.
Wakil Ketua Penerbangan Tak Berawak Angkatan Dirgantara Rusia, Kolonel Sergei Tyugay menyatakan, pengeboman yang dilaksanakan oleh drone Orion tepat mengenai sasaran dan tidak terdapat penyimpangan.
“Saya ingin menarik perhatian Anda pada akurasi aplikasinya. Di situ ada beberapa bangungan, struktur, dan objek di sekitarnya. Tapi penggunaan amunisi dari pesawat tak berawak ini sangat tepat mengenai sasaran dan tidak terjadi penyimpangan,” jelasnya.
Drone Orion terbilang sistem persejataan udara baru di Rusia. Drone ini mulai beroperasi di Angkatan Kedirgantaraan Rusia (VKS) pada Oktober 2020.
Pesawat nirawak ini menggunakan bom udara ringan berpemandu. Beratnya hanya hanya 20 kg dan 50 kg saja dan tersebut diberi sayap lipat yang memungkinkannya untuk terbang dan mengarah ke sasaran secara tepat. Basisnya dikembangkan dari munisi untuk sistem peluncur roket multilaras Grad.
Orion sendiri memiliki bobot lepas landas maksimal (MTOW) 1.000 kg dan mampu membawa 200 kg muatan. Sedangkan untuk lama terbang mencapai 24 jam.
Sebelumnya seperti telah diberitakan Airspace Review, walau Rusia dapat dikatakan “terlambat” dalam melakukan pengembangan drone, Negeri Beruang kini telah memiliki sejumlah wahana udara nirawak yang dapat dibanggakan.
Selain telah membuat sejumlah drone lain, salah satu drone Rusia yang ditampilkan di pameran kedirgantaraan MAKS-2019 adalah drone Orion. Di ajang tersebutlah, purwarupa Orion yang merupakan jenis drone MALE (Medium Altitude Long Endurance) diperlihatkan kepada publik.
Meski demikian, proyek drone ini sebenarnya telah digunlirkan oleh Kementerian Pertahanan Rusia pada 2011 dengan sandi ‘Inker’.
Saat itu yang menjadi pemenang tender adalah Transas. Namun pada 2015 perusahaan ini mengalami krisis keuangan yang akhirnya diakuisisi oleh IFK Sistema.
Selanjutnya, IFK Sistema melalui anak perusahaannya yaitu Kronstadt Technologies (KT) melanjutkan pembuatan purwarupa Orion.
Pada musim semi 2016, Orion dikabarkan telah mengudara untuk pertama kalinya. Baru pada gelaran MAKS 2017 selubung pengembangan Orion mulai disingkap walau hadir dalam wujud mock-up.
Sekelas dengan MQ-9 Reaper dan CH-4 Rainbow
Dilihat dari tampilannya, drone Orion tak jauh berbeda dengan drone di kelasnya seperti MQ-9 Reaper dari AS maupun CASC CH-4 Rainbow dari China.
Drone ini mengadopsi konfigurasi desain sayap utama yang membentang lurus tepat di tengah badan dipadu dengan sirip ekor berbentuk V dengan ukuran besar. Seluruh perangkat roda pendaratnya bisa ditarik ke dalam bodi drone.
Orion memiliki dimensi panjang 8 m, tinggi 2 m, dan rentang sayap 16 m. Untuk tenaga penggerak, Orion menggunakan mesin turboprop Saturn 36MT berdaya 100 hp.
Kecepatan terbang jelajah Orion mencapai 200 km/jam.Drone ini mampu terbang hingga ketinggian maksimum 24.600 kaki (7.500 m). Sementara untuk jangkauan operasinya mencapai 250 km.
Salah satu fitur unggulan Orion adalah kelengkapan electro impulse de-icing system yang memungkinkannya dapat beroperasi di kondisi iklim ekstrem seperti di wilayah kutub utara.
Drone Orion mengemban beragam misi di VKS. Mulai dari misi intelijen, pengawasan, dan pengintaian (ISR), deteksi dan pelacakan target, pemetaan udara, penilaian kerusakan akibat serangan, survei radar, hingga SIGINT/COMINT.
Perlengkapan misi yang yang mendukung drone ini meliputi FLIR (forward looking infra-red), SAR (synthetic aperture radar), dan kamera beresolusi tinggi.
Sementara untuk amunisi, drone Orion antara lain dilengkapi dengan bom KAB-50 dan rudal UPAB-50S seberat 50 kg yang dapat melumat target sejauh 30 km.
Sebelum mengembangkan drone dalam negeri, Rusia mengandalkan sejumlah drone buatan luar negeri. Seperti IAI Searcher Mk.2 dari Israel. Drone ini sebagian dibuat di Rusia melalui lisensi dan diberi nama Forpost.
Bersaing dengan Bayraktar TB2
Salah satu masalah yang dihadapi oleh Rusia dalam pengembangan drone Orion, tulis The Drive, adalah tidak tersedianya mesin yang andal. Mesin asli drone ini diproduksi oleh Itlan dan merupakan versi mesin Rotax 914 dari Austria yang dimodifikasi besar-besaran. Tiga unit drone Orion dengan mesin ini kabarnya telah dikirimkan ke Kementerian Pertahanan Rusia.
Sementara mesin alternatif yang sepenuhnya dibuat di dalam negeri, adalah hasil pengembangan perusahaan Agat. Mesin ini dipasang pada kelompok produksi Orion berikutnya. Berdasarkan kesulitan pada mesin inilah, Kementerian Pertahanan kemudian menuntuk pabrikan untuk melakukan perubahan desain pada Orion.
Selain senjata, Orion memiliki dua ruang untuk muatan misi dan peralatan lain. Kamera tambahan atau radar pengintai dapat dipasang di bagian tengah drone ini.
Operator pertama militer Rusia yang menerima drone ini adalah Resimen UAV Angkatan Laut Rusia yang berada di Severomorsk-1, bagian dari Armada Utara. Satuan tersebut sebelumnya telah dilengkapi dengan Forpost.
Selain digunakan di dalam negeri, Kronshtadt dan Badan Eksportir Penjataan Rusia Rosoboronexport, telah menawarkan versi Orion-E untuk diekspor kepada pelanggan asing.
Di pasar drone internasional, tentu saja produk Rusia ini akan menghadapi drone Turki yang telah menunjukkan keandalannya, yaitu Bayraktar TB2. Drone ini mendapat nama di mendan perang Suriah, Libia, dan yang terakhir dalam konflik militer antara Armenia dan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh.
Roni Sont