AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Korea Selatan dan Indonesia masih bernegosiasi mengenai porsi proyek bersama pengembangan jet tempur Generasi 4,5 KF-X.
Badan Program Pengadaan Persenjataan (DAPA) Korea mengatakan hal itu dalam jumpa pers pada hari Selasa (9/1), seperti diberitakan Yonhap.
Penjelasan tersebut sekaligus menjawab spekulasi yang menyebut bahwa Indonesia ingin keluar dari proyek tersebut.
Dikatakan, Indonesia setuju untuk bermitra dalam proyek KF-X Korea Selatan yang bertujuan mengembangkan jet tempur baru pada tahun 2026. Indonesia berjanji akan menanggung 20 persen dari total biaya pengembangan 8,8 triliun won (7,3 miliar USD), atau sekitar 1,7 triliun won.
Tetapi Indonesia berhenti melakukan pembayaran setelah menginvestasikan 227,2 miliar won, dengan sekitar 600 miliar won terlambat.
“Kami sedang dalam proses saling menjajaki posisi masing-masing. Kami akan uraikan secara detail ketika waktunya tepat,” kata Kang Eun-ho, Kepala DAPA.
Lebih lanjut disebutkan, tujuan awal Indonesia dalam kerja sama KF-X adalah untuk mendapatkan pesawat untuk Angkatan Udara dan memajukan industri kedirgantaraan negara.
Tetapi, media asing telah memberitakan bahwa Indonesia sekarang gencar berupaya untuk menandatangani kesepakatan dengan Perancis dalam rangka pembelian jet tempur baru.
Proyek KF-X telah dikerjakan oleh Korea Selatan sejak 2015 untuk mengembangkan pesawat tempur mutakhir buatan dalam negeri. Pesawat ini akan menggantikan armada jet F-4 dan F-5 Korea yang sudah menua.
September tahun lalu, proses perakitan akhir KF-X telah dilaksanakan di Korea Aerospace Industries Co.
Prototipe pertama KF-X dijadwalkan akan diperlihatkan kepada publik pada April mendatang.
Sebanyak 40 unit jet tempur ini rencananya akan dikirimkan ke Angkatan Udara Korea hingga tahun 2028. Sementara 80 unit lainnya menyusul hingga tahun 2032.
Catatan Redaksi Airspace Review, sejauh ini pemberitahuan mengenai perkembangan KF-X, muncul dari pihak Korea Selatan.
Kementerian Pertahanan Indonesia yang terlibat dalam proyek ini (IF-X), irit bicara sehingga sumber-sumber yang dikutip kebanyakan berasal dari Negeri Ginseng.
Roni Sont