AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Pada awal 1970-an Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) sedang mencari jet tempur ringan dalam program LWF (Lightweight Fighter). Menjadi finalis yakni General Dynamics YF-16 dan Northrop YF-17.
Dalam kompetisi ini, Northrop membangun dua prototipe jet yang dijuluki Cobra. Menjalani terbang perdana pada 9 Juni 1974.
Takdir akhirnya menentukan YF-17 harus kalah dalam persaingan dengan YF-16 yang masuk jalur produksi sebagai F-16 Fighting Falcon (kini menjadi hak milik Lockheed Martin).
Beruntung bagi Northrop, karena di masa yang sama Angkatan Laut AS (USN) tengah mencari jet tempur pengganti F-4 Phantom ll dan jet serang A-7 Corsair ll dengan merilis program VFAX (Naval Fighter Attack Experimental).
Desain YF-17 dipilih sebagai basis pengembangan jet tempur berbasis kapal induk ini. Menyingkirkan desain McDonnell Douglas dengan desain yang dikembangkan dari F-15 dan Grumman menawarkan F-14X yang lebih ringan.
Dalam proyek yang akhirnya menyandang nama F/A-18 (Fighter/Attack) ini, McDonnell Douglas ditunjuk sebagai kontraktor utama, sementara Northrop sebagai subkontraktor.
Secara desain F/A-18 serupa dengan YF-17, namun berdimensi lebih besar. Kaki roda pendaratan baru lebih kuat termasuk penambahan hook pengait di bawah ekor serta sayap utama yang bisa dilipat.
Jet multirole gen-4 yang mendapat julukan resmi sebagai Hornet ini menjalani terbang penerbangan pertamanya pada 18 November 1978.
Diminati oleh Angkatan Laut tapi justru Korps Marinir yang mendapatkan pesawat pertama
Meski semula VFAX dipelopori oleh USN, Hornet juga diminati oleh Korps Marinir Amerika Serikat (USMC) yang justru sebagai pertama penerima pesawat ini pada 1 Januari 1983. Sedangkan USN baru resmi menerima pada 1 Juli 1984.
Sebanyak 1.480 Hornet dibangun dari kurun 1974-1997. Terdiri empat varian utama F/A-18 seri A,B,C, dan D (seri B dan D adalah versi tandem atau berawak dua).
Di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, Hornet versi darat yang dikenal sebagai F-18L (tanpa sayap lipat) digunakan oleh AU Malaysia (RMAF/TUDM) sebanyak delapan unit tipe F/A-18D dan AU Australia (RAAF) dengan 55 unit F/A-18A dan 16 unit F/A-18B.
Sebelum diakuisisi oleh Boeing pada 1997, pabrik pesawat McDonnell Douglas sempat melahirkan generasi baru F/A-18E/F dijuluki sebagai Super Hornet. Peswat ini menjalani terbang perdana pada 29 November 1995.
Meski tampilannya tampak identik, sesungguhnya Super Hornet merupakan jet yang baru sama sekali. Desain intake-nya berubah, sirip ekor baru lebih luas serta dimensi juga jauh lebih besar.
Super Hornet sendiri mulai masuk dinas USN sejak 1999. Hingga kini total sebanyak 600 lebih Super Hornet telah dibuat. Sebanyak 24 unit di antaranya digunakan oleh AU Australia yakni tipe F/A-18F. Sebanyak 28 unit lainnya tengah dipesan oleh AU Kuwait.
Perjalanan panjang evolusi jet Cobra ke Super Hornet belumlah usai. Guna mempertahankan eksistensinya, Boeing terus mengupgrade Super Hornet menjadi jet tempur generasi 4++ yang dikenal sebagai F/A-18 ASH (Advanced Super Hornet). Sukses menjalani terbang perdana pada 5 Agustus 2013.
Kelebihan yang ditawarkan pada ASH adalah daya mesin GE F414 yang ditingkatkan 20 persen. Kemudian penambahan tangki bahan bakar konformal (CFT) untuk meningkatkan radius tempur, ruang senjata tersembunyi agar citra radar berkurang serta penggunaan rangkaian sensor yang ditingkatkan.
Boeing membidik peluang dengan menawarkan pertama ASH kepada AL Amerika Serikat sebagai pendamping F-35C Lightning ll dengan harga dan biaya operasional yang lebih murah.
Selain itu ASH juga ditawarkan pada pasar ekspor, India adalah salah satu negara yang pernah ditawarkan. Namun hingga saat ini ASH masih belum mendapatkan order.
Rangga Baswara Sawiyya