AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Saat Amerika Serikat (AS) mengembangkan jet tempur generasi 5 (gen-5) dalam program ATF (Advanced Tactical Fighter) pada awal 1980-an, Uni Soviet segera merespons dengan meluncurkan program serupa.
Program tersebut dipercayakan pada Biro Desain Mikoyan-Gurevich (MiG).
Singkat cerita lahirlah jet berkode MiG 1.44 (NATO: Flatpack).
Seperti halnya Lockheed YF-22 dan NorthropYF-23 dari AS, MiG-44 juga menggabungkan berbagai aspek jet tempur generasi kelima seperti avionik canggih, kemampuan siluman, supermaneuoverability, dan supercruise.
MiG 1.44 berdimensi panjang 19 m, rentang sayap15, tinggi 4,5 m, dan memiliki berat lepas landas maksimum 35.000 kg.
Sebagai dapur pacu pesawat ini menggunakan sepasang mesin turbojet afterburning Lyulka AL-41F berdaya 176 kN.
Kecepatan maksimumnya Mach 2,24, ketinggian terbang hingga 17.000 m, dan berjangkauan operasi sejauh 4.000 km.
Baca Juga: Sukhoi tingkatkan kapasitas jalur produksi Su-57 di Komsomolsk-on-Amur
Namun demikian, pihak NATO (Barat) meragukan kemampuan siluman MiG 1.44 karena desainnya yang masih tampak seperti jet gen-4. Badan pesawat ini permukaan badannya banyak tonjolan termasuk dengan cerobong mesin yang masih terlihat jelas.
Pengembangan MiG 1.44 sendiri terbilang berlarut-larut. Selain terbelit masalah teknis juga saat itu Uni Soviet mulai rapuh sehingga menyebabkan kurangnya suntikan dana untuk pengembangannya.
Hampir sembilan tahun setelah Uni Soviet runtuh pada Desember 1991, MiG 1.44 baru menjalani penerbangan perdananya pada 29 Februari 2000.
Nasib jet yang digadang-gadang akan menyandang kode resmi MiG-39 ini faktanya berakhir tragis.
Proyeknya kemudian dibekukan Pemerintah Rusia yang meluncurkan program baru, yang kelak melahirkan Sukhoi T-50 (Su-57).
Rangga Baswara Sawiyya