AIRSPACE REVIEW (airspace-review.com) – Suatu hari di bulan Februari 1966, di tengah-tengah berkecamuknya Perang Vietnam, sebuah pesawat pengintai Amerika Serikat (AS) berhasil ditembak jatuh di wilayah Hanoi oleh rudal pertahanan udara Vietnam Utara buatan Uni Soviet, S-75 Dvina (NATO: SA-2 Guideline).
Sebelumnya pada 1960, rudal S-75 telah berhasil memakan mangsanya sebuah pesawat mata-mata AS yaitu U-2 Dragon Lady yang terbang di wilayah Uni Soviet. Pesawat hitam itu berhasil ditembak dan jatuh di dekat Sverdlovsk (kini Yekaterinburg). Pilot Francis Gary Powers berhasil eject dan kemudian ditawan oleh Uni Soviet.
Atas terjadinya penembakan yang sukses itu, Amerika Serikat kemudian mencari tahu sisi rahasia rudal pemangsa pesawat yang sangat berbahaya ini. Washington kemudian menugaskan CIA untuk mendapatkan rahasia rudal S-75 berikut sistem radarnya melalu operasi bersandi “United Effort”.
S-75 merupakan rudal darat ke udara yang sangat mematikan. Rudal ini dilengkapi hulu ledak fragmentasi hampir seberat 200 kg, terbang dengan kecepatan 3 Mach, dan tidak harus mengenai langsung targetnya untuk bisa menghancurkan sasaran. Rudal ini dapat memusnahkan target dengan pecahan pelurunya.
Statistik pasti dari kerugian pesawat AS selama Perang Vietnam akibat tembakan rudal antipesawat domestik memang tidak diungkapkan. Namun menurut perhitungan Kementerian Pertahanan Federasi Rusia, pada akhir 1965 rudal S-75 Vietnam Utara dengan bantuan spesialis dari Soviet berhasil menghancurkan 93 pesawat.
Sementara peneliti dari AS menyebutkan, sekitar 200 pesawat AS telah hilang dalam perang itu termasuk pembom strategis B-52, pesawat angkut C-123, pesawat tempur F-4, F-8, F- 105, F -104, pesawat pengintai RB-66, RF-101, O-2, dan pesawat serang A-1, A-3, A-4, A-6, A-7 (sebagaimana ditulis Russia Today).
Tugas berat
Tidak mudah bagi CIA untuk mendapatkan rahasia S-75. Salah satu faktornya karena tentara Vietnam Utara pun dengan kecerdikannya dapat mengamankan sistem rudal ini. Mereka pun mampu berpindah-pindah membawa rudal ini dengan baik.
Meski demikian, bukan CIA namanya kalau harus pulang melaksanakan tugas berat dengan tangan kosong dalam menjalankan tugas berat ini. Pada suatu waktu, Badan Intelijen Pusat itu akhirnya berhasil mendapatkan manual pelatihan S-75. Namun begitu, terjemahan dalam manual tersebut tidak mencantumkan detail teknis rudal S-75.
Salah satu cara untuk mengenali karakteristik rudal S-75, pikir CIA, adalah dengan mencegat gelombang radio rudal S-75 dalam pertempuran sesungguhnya. Dan hal itu hanya dapat dilakukan dalam hitungan 200 milidetik.
Kendala pada saat itu, seperti dituliskan oleh Popular Mechanic, tak satu pun perangkat intelijen elektronik yang dimiliki oleh AS mampu memperoleh informasi semacam itu dalam waktu yang sangat singkat.
Para insinyur yang tergabung dalam CIA pun sampai membutuhkan waktu tiga tahun untuk mempersiapkan operasi penangkapan sinyal radar S-75.
Akhirnya, bersama dengan perusahaan Ryan Aeronautical mereka membuat drone target bernama Model 147D dan 147E Lightning Bug atau dalam misi ini disebut “Long Arm”. Ryan sendiri telah berpengalaman membuat target dron bermesin jet yaitu “Fire Fly” pada 1948.
Drone pengumpan bermesin turbojet ini dilengkapi peralatan khusus dan menggunakan profile perangkat radar yang telah ditingkatkan sehingga menyerupai pesawat mata-mata U-2. Drone dilepas di udara menggunakan pesawat angkut C-130 Hercules.
Tugas dari drone ini adalah menangkap sinyal pelacakan radar rudal S-75 sebelum rudal itu menghancurkannya. Sinyal yang ditangkap oleh drone ini selanjutnya dikirimkan ke pesawat pengintai RB-47H Stratojet.
Kelangsungan hidup penerbang meningkat
Upaya tersebut memang tidak langsung berhasil. Drone berhasil dihancurkan oleh rudal S-75 tanpa sempat memperoleh datanya. Namun dengan upaya yang terus dilakukan, akhirnya pada 13 Februari 1966, AS berhasil mendapatkan apa yang dicari.
Drone 147E yang juga dijuluki sebagai “SAM Sniffer” berhasil menerima satu set informasi panduan radar. Peralatan tersebut bahkan berhasil merekam kekuatan gelombang kejut yang menghancurkan drone tersebut.
Berdasarkan informasi yang diterima ini, AS kemudian membuat sistem peringatan untuk mencegah serangan rudal S-75.
Selama pengujian, sistem yang dikembangkan ini menunjukkan hasil yang baik. Drone target yang dilengkapi dengan sistem baru tersebut berhasil lolos dari serangan 11 rudal Soviet dan hanya rudal ke-12 yang mampu menembak jatuh.
Sistem antirudal S-75 yang diberi nama AN/APR-26 itu pun mulai dipasang di secara besar-besaran di pesawat-pesawat AS, termasuk pembom strategis B-52 Stratofortress, pembom tempur F-4 Phantom II, dan pesawat angkut C-130 Hercules.
Dengan perangkat tersebut para pilot AS dapat meninggalkan zona pertahanan udara musuh tepat waktu. Kelangsungan hidup penerbangan AS di Vietnam pun mulai meningkat.
Misi intersepsi data S-75 merupakan kontribusi paling signifikan yang berhasil dipersembahkan CIA saat itu.
Namun, dengan banyaknya sasaran yang lolos dari tembakan rudal-rudal S-75, para insinyur Soviet pun segera mengetahui ada sistem yang telah berhasil diendus oleh AS.
Dari situ pula, Uni Soviet dengan cepat memodernisasi sistem persenjataan mereka dengan menciptakan banyak varian S-75.
Roni Sontani