AIRSPACE REVIEW (angkasareview.com) – Memasuki tahun 2019 dunia penerbangan sipil di Indonesia, khususnya sektor penerbangan komersial reguler, menghadapi masa surut di mana jumlah penumpang menurun secara signifikan bahkan dapat dikatakan anjlok drastis. Kita baca dalam banyak pemberitaan, ratusan penerbangan dibatalkan karena tidak ada penumpang. Contohnya adalah penerbangan di bandara Palembang dan Pekanbaru.
Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Namun keluhan terbesar yang disampaikan oleh konsumen (masyarakat pengguna), adalah mahalnya tiket pesawat terbang.
Sangat kontras apabila dibandingkan dengan masa 10-20 tahun lalu di mana sejumlah maskapai berbiaya rendah (LCC) mulai bermunculan di Indonesia dan berlomba-lomba mengumbar tiket murah ke berbagai tujuan. Armada-armada bekas dibeli dan digunakan secara masif di Indonesia kala itu.
Tidak semua berjalan mulus, beberapa maskapai yang baru seumur jagung langsung kolaps alias gulung tikar. Yang menyedihkan, bergugurannya maskapai ini tidak hanya dialami oleh maskapai baru saja. Melainkan juga melanda sejumlah maskapai lama yang sudah punya. Mereka ikut terjerembab atau kalah saing, atau karena alasan lainnya, yang akhirnya juga ikut tutup buku.
Meski demikian, dua maskapai LCC dari dalam dan luar negeri, yakni Lion Air dan AirAsia, tumbuh berkibar. Kedua maskapai ini tumbuh pesat berkat strategi-strategi khusus yang diterapkannya. Pesawat-pesawat baru mereka borong. Kedua maskapai tampak bersaing menjadikan armada pesawat masing-masing sebagai maskapai sapu jagat di udara.
Lion Air yang didirikan pada 15 November 1999 mampu tumbuh sebagai maskapai pengangkut penumpang domestik terbanyak di Indonesia. Jumlah armada Lion Air Group saat ini telah mencapai 283 pesawat berbagai jenis dan masih akan bertambah.
Tahun lalu Lion Air Group berhasil mengangkut 51,72 juta penumpang atau 51% dari total jumlah penumpang domestik yang menembus angka 101,13 juta penumpang. Capaian ini mengalahkan Garuda yang mengangkut 33,86 juta penumpang domestik atau 34%. Ini tentu merupakan sebuah keberhasilan tersendiri bagi Lion Air Group yang juga telah melahirkan Wings Air dan Batik Air di dalam negeri selain pusat perawatan pesawat dan sejumlah maskapai di luar negeri.
Lion Air dengan slogan “We Make People Fly” dan AirAsia dengan slogan “Now Everyone Can Fly” telah berhasil menyediakan pesawat dengan rute-ruter penerbangan yang banyak agar semua orang bisa terbang.
Kita masih ingat masa-masa di mana orang yang tidak pernah naik pesawat sebelumnya pun lalu berbondong-bondong ke bandara untuk beralih menggunakan pesawat. Bandara penuh, padat, dengan para calon penumpang maupun penumpang yang baru datang dari bandara lain.
Dunia penerbangan Indonesia dari sisi jumlah penumpang sangat subur dengan peningkatan 10 persen per tahun.
Dengan logika bahwa tingkat isian pesawat selalu full ke berbagai tujuan kala itu (dan bahkan sayup-sayup kita dengar keluhan pilot dan awak kabin yang kurang waktu istirahat akibat padatnya jadwal kerja mereka), semestinya maskapai bersangkutan untung. Biaya kebutuhan operasional terlampaui.
Namun kita tidak tahu, apakah dengan kondisi seperti itu maskapai benar-benar untung dan happy?
Bila kondisinya memang begitu, harga tiket tentu tidak akan dinaikkan oleh maskapai yang selalu dapat untung dari jumlah penumpang yang sangat banyak itu. Bagasi pun tidak akan dikenakan biaya. Namun toh, ternyata hal itu dilakukan.
Inilah yang perlu kita cermati dan telusuri, khususnya oleh pihak regulator, mengapa maskapai penerbangan kini tak lagi ‘berjiwa dermawan’ dengan menjual tiket yang murah.
Tingginya harga avtur sempat dikeluhkan operator penerbangan. Namun, setelah harga avtur diturunkan pun, maskapai faktanya belum berani menurunkan harga tiket dan masih mengejar kebutuhan biaya operasional lainnya. Alhasil, harga tiket masih tetap dirasakan mahal oleh penumpang.
Kurang diminatinya moda transportasi udara akibat harga tiket yang mahal, tentu akan berefek multi dan mengganggu sektor-sektor ekonomi lainnya, seperti sektor bisnis dan pariwisata. Bandara pun akan sepi dan kehilangan potensi pendapatannya.
Di satu sisi, kita saksikan pemerintah telah melakukan pembangunan infrastruktur secara masif termasuk pembangunan dan revitalisasi bandara di seluruh Indonesia. Tujuannya, adalah agar mobilitas penumpang transportasi udara dapat terakomodir dan seluruh wilayah terkoneksi.
Mengacu pada berbagai kepentingan, tentunya masalah harga tiket yang mahal ini menjadi masalah bersama yang perlu dicarikan solusi dengan semangat kebersamaan pula.
Masyarakat pengguna ingin harga tiket yang murah. Bila harga tiket pesawat mahal, masyarakat mulai beralih menggunakan alternatif moda transportasi lainnya, baik kapal laut maupun bus. Jalan-jalan tol yang telah membuka akses lebih cepat penghubung antarkota pun digunakan. Demikian juga dengan kapal-kapal pelayaran sebagai moda transportasi antarpulau, walau dengan waktu tempuh lebih lama, jadi alternatif pilihan.
Namun perlu diingat juga, bahwa maskapai tentu tidak mau rugi juga usahanya. Maskapai penerbangan butuh dana untuk menutupi biaya pembelian/sewa pesawat, pemeliharaan pesawat, pembelian suku cadang, beli avtur, bayar gaji pilot/awak pesawat lainnya, karyawan kantoran, dan seluruh biaya-biaya terkait.
Maskapai penerbangan seperti berada dalam dilema. Tidak menaikkan harga tiket berarti ancaman kebangkrutan menghantui mereka. Akan tetapi, apabila harga tiket yang dijual terlalu tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat pun, sama saja mereka juga sedang melakukan bunuh diri.
Sementara regulator dalam hal ini Kementerian Perhubungan, yang bewenang menetapkan batas tarif atas dan batas tarif bawah, dengan melihat realita di lapangan akhirnya memberlakukan aturan baru penurunan harga tiket pesawat sebesar 12-16 persen dari Tarif Batas Atas (TBA). Aturan ini mulai diberlakukan pada hari ini, Kamis, 16 Mei 2019.
Apakah dengan aturan dan besaran penurunan harga tiket pesawat ini akan memulihkan kembali semaraknya penerbangan komersial di Indonesia? Tentu kita harapkan demikian.
Namun, apabila ternyata harga tiket pesawat tetap masih dirasakan terlalu tinggi oleh para penumpang, perlu dilakukan analisis lebih mendalam dan perumusan yang lebih efektif oleh semua pihak terkait, bukan hanya oleh diputuskan oleh regulator semata.
Penumpang atau konsumen memang selalui diidiomkan sebagai raja, tapi bukan itu dasar pandangnya. Bagaimana pun, maskapai penerbangan tanpa penumpang akan lumpuh. Demikian pula sebaliknya, calon penumpang tanpa ada maskapai penerbangan yang beroperasi juga tidak bisa bepergian menggunakan jasa moda udara yang cepat ini. Jadi semua saling membutuhkan, dibutuhkan kepedulian bersama, dan ini menjadi tanggung jawab bersama untuk saling mendukung.
Regulator berada di tengah, dengan memperhatikan semua aspek kebutuhan dan keberlangsungan operasional maskapai penerbangan maupun kemampuan masyarakat pengguna.
Harapan kita, maskapai penerbangan dapat tumbuh secara sehat dan menguntungkan, ekonomi bangsa terdukung dan bergerak positif, serta masyarakat dapat kembali menikmati moda transportasi udara.
Roni Sontani