KEINGINAN manusia untuk bisa kembali terbang menggunakan pesawat sipil sekencang jet tempur tak sirna selepas dipensiunkannya pesawat komersial supersonik Concorde tahun 2003 akibat tragedi maut tahun 2000.
Dengan pesawat supercepat ini, perjalanan udara antarbenua melintasi samudera pun tak lagi melelahkan.
Ambil contoh terbang dengan pesawat Concorde, penerbangan Washington – Paris yang membutuhkan waktu 9-11 jam menggunakan pesawat komersial biasa, bisa dipangkas menjadi hanya 3,5 jam saja.
Pemangkasan jam terbang yang sangat banyak itu, merupakan salah satu terobosan teknologi industri kedirgantaraan yang sekaligus memberikan pilihan kepada pengguna jasa transportasi udara.
Hal itu dimungkinkan karena Concorde mampu melaju hingga kecepatan Mach 2,04 atau 2.519 km/jam.
Adalah kini Aerion, industri dirgantara asal Amerika Serikat yang didirikan tahun 2004 dan berbasis di Reno, Nevada mencoba untuk melahirkan kembali pesawat komersial berkecepatan tinggi bak pesawat tempur, AS2.
Demi mewujudkan keinginannya itu, Aerion pun coba menggandeng pabrikan lain. Kerja sama pertama dilakukan dengan Airbus Defence and Space (Airbus Military) beberapa tahun lalu, namun kemudian terhenti karena ada perubahan kebijakan terkait masalah finansial di tubuh Airbus Military.
Aerion kemudian menggandeng Lockheed Martin dan General Electric Aviation untuk penyediaan mesinnya. Kerja sama ini telah diumumkan pada 15 September 2017 lalu.
Aerion Ececutive Chairman Brian Barents menyatakan, Lockheed digandeng untuk kemungkinan melaksanakan produksi AS2 dan perakitan final pesawat ini di Marietta, Georgia.
Bila program ini berjalan mulus sesuai rencana, maka diharapkan produksi pesawat prototipe untuk uji dapat diterbangkan tahun 2023. Dua tahun setelah itu, pesawat berkecepatan maksimum Mach 1,8 dan mampu menjelajah sejauh 5.000 mil laut itu sudah dapat digunakan.
Secara desain teknis dan manufaktur, tentu itu bukan masalah besar. Toh, Concorde pun sudah bisa dibuat manusia dengan menggunakan teknologi yang berkembang di dekade 1960-an. Apalagi sekarang tentunya.
Masalah terbesar adalah seberapa tinggi peluang pesawat jenis ini dapat diserap oleh pasar agar minimal bisa terjual sebanyak 300 unit sebagaimana hitung-hitungan kembali modalnya?
Pesawat jet pribadi, pasarnya adalah orang-orang yang sudah kelebihan duit. Bagi mereka, uang bukan lagi problem utama.
Itu pula yang diyakini Barents, bahwa penerbangan pesawat komersial di masa depan adalah soal kecepatan. Dan ia hendak mewujudkannya kembali melalui sebuah jet pribadi.
Tantangan kedua tentu soal kebisingan suara mesin di mana pesawat-pesawat berkecapatan terbang di atas kecepatan suara akan menimbulkan suara ledakan di udara yang lazim disebut sonic boom.
Padahal, badan penerbangan FAA maupun EASA telah melarang penggunaan pesawat jet supersonik komersial akibat polusi suara tersebut. RONI SONTANI | ANGKASA REVIEW