Dalam suatu diskusi di Jakarta, seorang pilot tempur dari negara Eropa mengatakan, China membeli penempur Sukhoi Su-35 dari Rusia bukan untuk menangkal musuh-musuhnya. Ia menegaskan, kesan yang timbul ke publik dari pembelian itu hanyalah sebuah hal lain, karena China sebenarnya lebih ingin mengetahui teknologi Su-35 dan kemudian menjiplaknya!
China jelas bukanlah negara asing bagi Rusia yang kini merupakan representasi Uni Soviet di zaman dahulu. China adalah teman lama Uni Soviet. China membeli pesawat-pesawat dari Uni Soviet sejak tahun 1950-an dan kemudian melakukan lisensi produk dan bahkan dalam perjalanannya kemudian dalam beberapa hal diam-diam melakukan penjiplakan terhadap produk Uni Soviet/Rusia untuk melahirkan produk dalam negeri secara mandiri.
Sulit untuk mengatakan setuju atau tidak setuju terhadap langkah yang dilakukan oleh China. Yang jelas, dengan cara apa pun, China berkembang dengan sangat pesat dalam hal teknologi dan sepertinya negeri itu sedang berlari meninggalkan negara-negara lainnya.
Banyak sekali produk-produk yang dihasilkan oleh China, yang seringkali tak kita duga kapan negeri itu melakukan risetnya. Termasuk dalam hal penempur generasi kelima pun, tahu-tahu China sudah mengembangkan J-20 dan J-31 di tengah perhatian publik dunia terhadap penempur generasi kelima Amerika Serikat dan Rusia.
Tentang Su-35, mengapa China membelinya dari Rusia? Niat tersebut sebenarnya telah dirintis China sejak tahun 2010. China mengajukan pembelian 48 Su-35 namun kemudian hanya 24 yang disetujui oleh Rusia.
David Cohen, analis militer China dalam China Brief (2015) memaparkan, China melakukan lobi-lobi hebat terhadap Rusia agar bisa mendapatkan penempur Su-35.
Rusia sendiri sebenarnya masih menyimpan kekesalan lama ketika China membuat jiplakan Su-27 menjadi J-11B dengan tanpa lisensi produksi dan mengklaimnya sebagai produk mandiri dalam negeri.
Sebagaimana diketahui, China pada tahun 1991 mulai membeli Su-27SK dari Rusia dan di tahun 1995 China melakukan kontrak dengan Rusia untuk memroduksi secara lisensi 200 Su-27SK yang kemudian diberi kode J-11A.
Namun, setahun kemudian Rusia memutus kontrak setelah 95 unit pesawat berhasil dibuat. Penyebabnya tidak lain karena China secara diam-diam telah melakukan reverse-engineering Su-27SK menjadi “penempur produksi dalam negeri” J-11B dengan avionik dan persenjataan buatan China.
Meski kontrak diputus, China tetap melanjutkan proyek J-11B sehingga pesawat itu berhasil mengudara pada 1998 dan kemudian diproduksi sampai saat ini.
Dalam hal menjual Su-35 kepada China, Rusia sebenarnya memendam kekhawatiran yang besar juga kalau negeri di kawasan Asia itu akan menjiplak mesin Saturn AL-117S. Mesin ini tidak lain adalah salah satu rahasia kekuatan Su-35.
China sepertinya bisa menjiplak mesin ini agar bisa membuat mesin baru untuk penempur terbaru mereka, J-20. Sementara mesin ini pula yang oleh Rusia kini masih digunakan dalam uji coba pesawat generasi kelima T-50 PAK FA.
Menyadari China akan menjiplak seluruh hal yang dianggap penting, toh pada akhirnya tak membuat Rusia ketakukan secara berlebihan. Setelah melalui proses pembicaraan selama lima tahun, akhirnya Rusia pun memberi lampu hijau kepada China untuk mendapatkan penempur Su-35.
Di tahun itu Rusia mengabulkan pembelian 24 unit Su-35 oleh China senilai dua miliar dolar AS.
Dengan begitu, resmi sudah China menjadi pemakai kedua Su-35 setelah Rusia dan pemakai pertama Su-35 di luar Rusia. Kedatangan gelombang pertama Su-35 ke tanah China terjadi pada akhir Desember 2016.
Di satu sisi dapat dimaklumi, Rusia memang butuh negara lain pembeli Su-35 Flanker-E untuk mendongkrak penjualan penempur tercanggih di klan Flanker saat ini.
Terhadap China, Rusia memandang bahwa pertemanan yang sudah lama harus tetap dipertahankan mengingat China sebagai salah satu importir terbesar Rusia.
Rusia memainkan peran ganda, bersahabat dengan China tapi juga bersahabat dengan India. Padahal kita tahu, antara China dan India terjadi perang dingin dan lomba senjata.
Kedua negara termasuk pengguna penempur Sukhoi Su-27/30 dalam jumlah ratusan. Su-27/30 merupakan pendahulu Su-35 yang bagi pilot Su-35 basis penguasaan sebelum menerbangkan Su-35.
Bagi Rusia, China dan India adalah partner sekaligus pasar senjata bagi mereka.
Dengan akhirnya menyetujui penjualan Su-35 kepada China, Moskow sedang membuat peta kesetimbangan antara “fears and needs“.
Bagaimana pun, secara logika, Rusia tentunya tidak akan menjual Su-35 yang sama dengan yang mereka gunakan sendiri. Maka dari itu, pesawat yang dijual Rusia kepada negara lain biasanya adalah versi ekspor. Pasti terdapat perbedaan, banyak maupun sedikit.
Di sisi yang lain, bagi Rusia, penjualan produk mutakhir ke negara lain, adalah untuk makin mendorong industri dalam negeri untuk terus melahirkan produk-produk yang lebih unggul lagi.
Sebagai penempur generasi 4++ non-siluman, dalam hal kemampuan pertempuran udara, bisa jadi Su-35 tidak terlalu banyak bedanya dengan varian Su-27/30.
Hal yang membuat China ingin penempur ini, kata Cohen, adalah lebih kepada kelebihannya dalam hal daya jangkau yang lebih jauh serta kecepatan terbang yang tinggi dibanding keluarga Sukhoi pendahulunya.
Cohen menyoroti kebutuhan China untuk mengamankan wilayah negara yang amat luas sebagaimana Rusia mengamankan teritorialnya yang luas pula. Itu pula sebabnya, Su-35 dinilai cocok sebagai penempur untuk menjalankan fungsi patroli jarak jauh di mana tidak diperlukan banyak landasan. Sekali terbang, pesawat ini bisa menjelajah jauh mengitari negara dengan membawa segudang persenjataan.
Tugas ini jelas amat sulit dilakukan oleh penempur berukuran kecil dimana memiliki beberapa keterbatasan karenanya.
Ketegangan yang terus memuncak di kawasan Laut China Selatan, jabar Cohen, telah memaksa China untuk memiliki armada penempur yang sesuai dari sisi spesifikasi teknsi dan kebutuhan operasional.
China membutuhkan penempur yang langsung siap digunakan untuk mengamankan 3,5 juta kilometer persegi Laut China Selatan dan mengawal patroli pesawat pengebom strategis Xian H-6K (versi produk lisensi termutakhir Tu-16 dari Uni Soviet/Rusia).
Selain itu, China butuh mengoperasikan penempur baru agar tidak terjadi kesenjangan terhadap F-15E versi termutahkir yang digunakan AS dan kroni-kroninya. Belum lagi, China harus menghadapi penempur F-22 dan F-35A yang telah operasional.
Saat ini pangkalan-pangkalan udara milik Penerbangan Angkatan Laut China (PLNAAF) dapat diisi oleh berbagai penempur AU maupun AL China. Namun, pesawat tempur yang dioperasikan masih memiliki keterbatasan dalam hal jangkauan patroli jarak jauh.
Artinya, pesawat yang diandalkan belum mampu melaksanakan patroli udara menyeluruh guna melindungan kawasan laut di belahan selatan.
Kalaupun dilakukan, akan banyak sekali waktu terbuang, karena pesawat harus terus mengisi ulang bahan bakarnya. Loiter tima menjadi terlalu tinggi. Sementara Su-27 yang dimiliki China pun tak dilengkapi perangkat pengisian bahan bakar di udara (air refueling) dan drop tank.
Ini pula yang menjadi masalah tersendiri dimana dibutuhkan waktu lebih lama kalaupun harus dimodifikasi terlebih dahulu. “Kuncinya dalah pada kemampuan membawa bahan bakar,” tulis Cohen.
Dengan mengoperasikan Su-35, China juga menjadi punya keleluasaan untuk melaksanakan “diplomasi udara” ke kawasan wilayah sengketa Kepulauan Diaoyu/Senkaku.
Artinya, China punya tambahan arsenal baru yang amat dipertimbangkan oleh Jepang dan juga Amerika Serikat.
Su-35 memiliki kemampuan membawa tangki bahan bakar tambahan sehingga daya jangkaunya akan makin jauh lagi. Sebagai perbandingan, daya jangkau pergi pulang (pp) Su-27 dan Su-35 dapat dilihat dalam ilustrasi peta yang menyertakan kawasan Laut China Selatan.
Jarak jelajah Su-27 digambarkan dengan garis kuning, sementara jarak jelajah Su-35 digambarkan dengan garis merah. Terlihat, di mana radius tempur Su-35 tanpa drop tank lebih jauh dari Su-27 (garis merah tipis), dan radius tempur Su-35 dengan dua drop tank tampak lebih jauh lagi (garis merah tebal). Jarak jangkau ini dihitung dari pangkalan udara utama PLNAAF, yakni di Lungshui AB dan Suixi AB.Tampak bahwa Su-35 dengan dua drop tank mampu menjangkau jarak hingga ke sekitaran Balikpapan, Kalimantan Timur. Sementara Su-27 hanya sampai ke Reed Bank (Lile Tan) atau Scarbogouh Shoal (Huangyan Dao).
Dengan mengoperasikan penempur jarak jauh dari daratan, membuat China juga lebih aman. Merespons strategi tersebut, lanjut Cohen, tak salah bila Amerika Serikat mulai merancang penempatan penempur siluman F-35 di Jepang dan Korea Selatan.
Saat ini, AS malah sudah sering menempatkan penempur tercanggih F-22 di kedua negara, yang kehadirannya kerap dirasakan oleh pesawat tempur lain namun tidak terlihat kasat mata.
Dapat dimaklumi, pesawat tersebut merupakan jenis stealth dimana sulit terdeteksi oleh radar, namun dengan mudah dapat mengunci pesawat musuh.
Bisa saja menjiplak
Pendapat di awal yang menyatakan bahwa tujuan terbesar China membeli Su-35 dari Rusia adalah untuk kepentingan menjiplak teknologi yang digunakan, bagaimana pun tak dapat diabaikan. Bisa benar dan bisa juga menjadi tujuan utama. Tanpa kita duga-duga pun, China sebenarnya seringkali membuat kita tercengang dengan produk-produk terbaru baik menyerupai produk lain ataupun tidak.
Jessey Sloman dan Lauren Dikey dalam tulisan di The Diplomat (Juni 2015) menyatakan, sangat mungkin apabila China butuh teknologi pembanding bagi penempur dalam negeri yang sedang mereka kembangkan saat ini, J-11D. Walaupun, beberapa sistem teknologi seperti radar aktif (AESA), reloksi IRST, dan material komposit yang digunakan J-11D mungkin saja malah lebih unggul dari Su-35.
Hal yang China butuhkan dari Su-35 adalah karena pesawat tersebut memiliki manuverabilitas yang lebih tinggi selain daya jelajahnya yang jauh dengan muatan penuh. Tentu saja, China sangat berkeinginan mengetahui perangkat-perangkat terbaru yang digunakan penempur ini.
Satu hal lagi, China sangat ingin mengetahui mesin terbaru Saturn AL-117S (AL-41F1S) yang menjadi salah satu penyebab Su-35 mampu menunjukkan kehebatannya di udara. China butuh mengetahui teknologi mesin yang digunakan penempur lebih jauh guna menopang pengembangan J-20 dan J-31.
Untuk memperoleh mesin baru secara parsial tanpa membeli pesawatnya dari Rusia, jelas amatlah mustahil. Itulah sebabnya mengaa China masih menggunakan mesin berteknologi tiga dekade lalu, yakni Saturn AL-31 untuk J-20 dan Klimov RD-93 untuk J-31.
Pembuatan mesin diakui lebih rumit dari pengembangan pesawatnya itu sendiri. Contoh, Rusia sendiri menghadapi kendala besar sehingga pembuatan mesin baru untuk menopang T-50 PAK FA mengalami keterlambatan.
China saat ini memang telah berhasil membuat mesin WS-10 bagi J-16. Namun, itu pun dinilai masih belum memadai untuk menopang dimensi besar J-16.
China kemudian mengerjakan proyek mesin Xian WS-15 untuk J-20 dan AVIC WS-13 untuk J-31 yang hingga saat ini masih dalam proses.
Itulah mengapa China pada akhirnya membeli Su-35 yang selain memperoleh pesawat, juga memperoleh mesinnya yang hebat.
Namanya menduga, tentu boleh dan semua sah-sah saja. Apa tujuan utama dari China membeli Su-35? Tentu hanya negeri itu yang tahu persis maksudnya.
Setelah China, negara-negara lain ikut antri guna mendapatkan Su-35. Indonesia salah satunya yang dikabarkan sedang dalam proses pembelian pesawat ini guna menggantikan armada F-5 Skadron Udara 11. Siapa cepat, tentu ia yang dapat.
Pertanyaan paling utama dari keinginan Indonesia membeli Su-35, tentu adalah tujuan dari pembelian pesawat ini.
Tentara Nasional Indonesia maupun TNI Angkatan Udara harus dapat merumuskan secara tepat penggunaannya. Negara-negara jelas maju akan terus memodernisasi persenjataannya, termasuk membeli penempur-penempur paling canggih.
Karena, siapa yang paling kuat, dia pula yang akan paling bisa memengaruhi kawasan sekitarnya.
Roni Sontani